Ya. Sebagai seorang yang hidup sebatang kara, memelihara kucing adalah satu-satunya hiburan tersendiri bagiku agar tidak merasa kesepian. Sampai aku tumbuh menjadi dewasa dan bertemu dengan Martin.
Kembali kepada nasib kucing-kucing di atas loteng itu. Aku tidak berani membayangkan terlalu jauh hal terburuk yang bisa saja terjadi akibat ulah brutal suamiku.
Esoknya, pagi-pagi sekali saat Martin masih terlelap di balik selimutnya, diam-diam aku beranjak menuju loteng. Aku ingin mencari tahu kondisi mereka---kucing-kucing liar yang belakangan, entah mengapa betah sekali berkeliaran di sekitaran rumahku ini.
Aku menarik napas lega begitu mengetahui loteng dalam keadaan bersih. Tidak tampak seekor kucing pun yang terkapar, atau setidaknya tidak kutemukan sepercik darah di atas ubin.
Syukurlah. Para hewan berbulu lembut itu berhasil menyelamatkan diri. Semoga mereka tidak kembali lagi ke rumahku ini agar amarah Martin tidak tersulut.
Merasa semua baik-baik saja, aku memutuskan kembali turun. Tapi urung.Â
Sepasang mata bening sedang menatapku dari balik tumpukan kardus di pojok loteng. Sejenak aku tertegun.
Bukankah itu kucing hitam yang kemarin pagi lehernya terkena sasaran peluru Martin? Bagaimana mungkin ia bisa kembali ke loteng ini? Bukankah ia sudah mati?
Ya. Aku yakin itu! Ia sudah mati. Sebab akulah yang menguburnya secara diam-diam, di lahan kosong belakang rumahku ini.
Ah, aku lantas berusaha mematahkan pikiranku sendiri. Bisa jadi mataku telah salah lihat. Dia bukan kucing hitam yang ditembak mati oleh Martin. Mungkin dia kucing lain yang memiliki bulu yang sama dengan kucing korban kemarahan suamiku itu.