Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Kucing Hitam di Atas Loteng

25 Juli 2023   07:47 Diperbarui: 28 Juli 2023   21:05 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: shadowmeow.com

Martin baru saja meringkuk di balik selimut ketika suara ribut-ribut itu terdengar. Sontak ia melompat dari tempat tidur. Diraihnya senapan yang tergantung pada dinding kamar.

Melihat gelagat kurang baik itu, segera kumatikan laptop yang sedari tadi kubiarkan menyala. Serta merta kuhadang langkah Martin, berusaha membujuknya.

"Sayang, letakkan kembali senapan itu, ya. Jangan bertindak bodoh. Pagi tadi kau sudah menembak salah satu dari kucing-kucing liar itu, bukan?"

"Diam kau, Ellen! Geram sekali aku! Kali ini akan kuhabisi kucing-kucing tak tahu diri yang kerjanya hanya bikin ribut itu!" Martin menghardikku. Dan, tanpa bisa dicegah lagi ia bergegas menuju loteng.

Dor! Dor! Dor!

Terdengar suara tembakan beruntun. Memecah kesunyian malam.

***
Usai insiden penembakan itu nyaris semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku tertuju pada nasib kucing-kucing liar itu. Apakah mereka bisa menyelamatkan diri dari muntahan peluru Martin?

Ah, entahlah.

Yang kuingat, aku tahu persis bagaimana tabiat Martin. Suamiku itu selain pemarah juga pembenci kucing. Sepertinya dia trauma berat karena pernah mengalami kecelakaan saat berkendara motor akibat dikejutkan oleh seekor kucing yang melompat secara tiba-tiba di hadapannya. 

Hal itu tentu saja berbanding terbalik dengan diriku. Aku pecinta kucing. Sayangnya Martin tidak mengetahui rahasia itu. Aku bahkan pernah menghabiskan masa kecil bersama sekawanan kucing liar.

Ya. Sebagai seorang yang hidup sebatang kara, memelihara kucing adalah satu-satunya hiburan tersendiri bagiku agar tidak merasa kesepian. Sampai aku tumbuh menjadi dewasa dan bertemu dengan Martin.

Kembali kepada nasib kucing-kucing di atas loteng itu. Aku tidak berani membayangkan terlalu jauh hal terburuk yang bisa saja terjadi akibat ulah brutal suamiku.

Esoknya, pagi-pagi sekali saat Martin masih terlelap di balik selimutnya, diam-diam aku beranjak menuju loteng. Aku ingin mencari tahu kondisi mereka---kucing-kucing liar yang belakangan, entah mengapa betah sekali berkeliaran di sekitaran rumahku ini.

Aku menarik napas lega begitu mengetahui loteng dalam keadaan bersih. Tidak tampak seekor kucing pun yang terkapar, atau setidaknya tidak kutemukan sepercik darah di atas ubin.

Syukurlah. Para hewan berbulu lembut itu berhasil menyelamatkan diri. Semoga mereka tidak kembali lagi ke rumahku ini agar amarah Martin tidak tersulut.

Merasa semua baik-baik saja, aku memutuskan kembali turun. Tapi urung. 

Image: shadowmeow.com
Image: shadowmeow.com

Sepasang mata bening sedang menatapku dari balik tumpukan kardus di pojok loteng. Sejenak aku tertegun.

Bukankah itu kucing hitam yang kemarin pagi lehernya terkena sasaran peluru Martin? Bagaimana mungkin ia bisa kembali ke loteng ini? Bukankah ia sudah mati?

Ya. Aku yakin itu! Ia sudah mati. Sebab akulah yang menguburnya secara diam-diam, di lahan kosong belakang rumahku ini.

Ah, aku lantas berusaha mematahkan pikiranku sendiri. Bisa jadi mataku telah salah lihat. Dia bukan kucing hitam yang ditembak mati oleh Martin. Mungkin dia kucing lain yang memiliki bulu yang sama dengan kucing korban kemarahan suamiku itu.

Kiranya rasa penasaran jauh lebih mendominasi. Tanpa sadar kedua lutut kujatuhkan. Tanganku terulur. Dengan suara lembut kupanggil kucing hitam yang masih geming menatapku itu.

"Pusss ..sini, mendekatlah."

Dan, aku terkejut sekaligus senang. Kucing hitam itu---terdapat luka di lehernya! Ia tampak berjalan perlahan mendekatiku. Aku nyaris berhasil memeluknya kalau saja Martin tidak keburu datang sembari menodongkan senapannya. 

"Martin, jangaaaan...!!!"

Dor! Dor! Dor!

Terlambat. Tiga tembakan meluncur telak mengenai kepala kucing hitam di hadapanku. Tubuhku sontak gemetar hebat. Tangisku pun pecah.

***
Martin menarik pundakku dengan kasar ketika aku berusaha meraih tubuh kucing hitam yang terkapar tak berdaya itu.

"Jangan sentuh dia!" Sergahnya marah. Setelah melempar senapan di atas ubin, ia memasukkan kucing hitam itu ke dalam kantong plastik. Diikatnya ujung kantong dengan tali rafia.

"Biarkan aku yang menguburkannya, Martin. Please..." Aku memohon. 

Tapi Martin seolah tidak mendengarku. Ia terus saja mengikat kantong plastik itu erat-erat dan bersiap menuruni anak tangga.

"Hendak kaubawa ke mana mayat kucing itu, Martin?" Aku berlari mengejarnya.

"Akan kulempar ke sungai di bawah jembatan!" Martin mendorong tubuhku yang berusaha menghalangi langkahnya. Aku kehilangan keseimbangan dan terjerembap jatuh.

Entah apa yang ada di dalam pikiranku. Dalam kondisi jatuh tatapan lembut kucing hitam itu tak mampu kulenyapkan. Tatapan penuh iba. Tatapan yang seolah menggugat ketidakadilan atas perilaku kejam suamiku.

"Kaupercaya adanya karma membunuh seekor kucing, kan Martin?" Aku bertanya seraya menangkup wajah dengan kedua tangan. 

"Tidak Ellen! Tidak ada yang kupercayai di dunia ini selain diriku sendiri!" Martin berteriak lantang. Suaranya membahana mengusik ketenangan pagi.

***
Dor! Dor! Dor!

Tiga peluru beruntun menembus bagian kepala belakang Martin. Ia pun terguling hingga meringkuk di atas lantai. Tepat di bawah anak tangga.

Aku berlari mendapatkannya.

"Maafkan aku, Martin. Tidak ada yang bisa menghentikan kekejamanmu ini kecuali senapanmu sendiri."

Kulempar senjata berlaras panjang itu di samping tubuh Martin yang meregang. Kuraih kantong plastik berisi kucing hitam dari tangannya. Kulepas ikatannya lalu berbisik lirih. 

"Pergilah sejauh mungkin dari rumah terkutuk ini, Madam. Jaga nyawamu yang masih tersisa 7 itu, ya."

"Meoong..."

***
Dua mobil berjalan bersimpangan. Satu mobil meraung-raung menuju rumah sakit, satunya lagi bergegas menuju markas polisi.

Sementara para kuli tinta antusias berebut mengunggah berita mengagetkan pagi itu: Seorang suami tewas ditembak mati secara brutal oleh istrinya sendiri.

Namun hingga berita viral tersebut lenyap ditelan waktu, tidak seorang pun tahu apa motif sesungguhnya dari pembunuhan sadis itu. Sebab si pelaku tetap bungkam dan memilih rela diikucilkan di sebuah ruangan berukuran sempit.

***

Di suatu pagi yang lain.

"Meoong..."

Aku memanggil dari balik pagar RSJ. Seekor kucing hitam bermata lembut mendekatiku. Sebentar kemudian kami asyik melahap sepiring ransum berlauk ikan asin. Berdua. 

Ya. Berdua saja. 

Hahahaha....


***
Malang, 25 Juli 2023
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun