Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Cerpen: Arwah Penasaran

18 Juni 2023   04:27 Diperbarui: 5 Agustus 2024   16:21 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serombongan orang berwajah murung melintas di hadapanku. Tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Hanya nyanyian burung gagak sesekali terdengar serak mengiringi langkah-langkah yang mengayun rampak.

Sekelebat aku melihat diriku. Iya, benar, diriku. Dalam bentuk yang lain. Berada di antara orang-orang berwajah murung itu, berjalan di barisan paling depan.

"Apa yang terjadi?" suaraku terasa tercekat di tenggorokan.

"Mati. Kamu sudah mati." Seorang laki-laki tua dengan sorban dan jubah warna putih bicara kepadaku.

"Sudah mati? Bagaimana mungkin?" Sederet pertanyaan menjejali ruang kepalaku.

"Kamu masih belum yakin kalau sudah mati? Coba bicaralah dengan dia. Dirimu sendiri yang berjalan di barisan paling depan itu." Lelaki tua itu menggamit lenganku. Mengajakku berbaur dengan rombongan aneh yang terus saja bergerak-yang entah hendak menuju ke mana.

Kiranya langkahku jauh lebih cepat dari langkah lelaki tua itu. Sebentar saja aku sudah berjalan berdampingan dengan seseorang yang menyerupai aku.

"Katakan jika ini hanya mimpi buruk!" Tanpa basa-basi aku menghardik.

"Mati bukanlah mimpi buruk. Mati adalah kepastian yang tidak bisa dihindari." Sosok yang nenyerupai diriku itu menyahut dengan tenang.

Tentu, aku sangat tidak puas mendengar pernyataan klise itu. Meski aku tahu semua orang bakal mati. Tapi yang ingin kutegaskan di sini adalah; bagaimana caraku mati? Mengapa aku tidak diberitahu secara gamblang?

Iring-iringan tanpa suara itu berjalan semakin menjauh. Kami sudah melintasi padang rumput, perbukitan, lembah, ngarai, hingga berakhir di tepi pantai yang ombaknya bergulung-gulung tak kunjung henti.

"Di sinilah kita memulai prosesi kematian itu. Kamu, cobalah mengingat-ingat." Sosok yang menyerupai diriku berkata pelan tanpa menoleh. Aku mengangguk. Meski aku tidak yakin apakah aku bisa memunguti kembali memori penyebab kematianku.

***
Pasir putih yang hangat. Camar yang terbang melayang-layang di atas permukaan air laut. Ah, ya! Kedua hal itu sudah cukup menjadi jendela pembuka ingatanku.

sumber https://www.shutterstock.com
sumber https://www.shutterstock.com

Tapi ingatan tentang apa? 

Pandanganku masih tertuju pada samudera biru yang luas membentang. Lalu, tiba-tiba saja sebuah kapal pesiar muncul dari kejauhan.

Itu Kapal Lady Lovibond!

"Kamu ingat sekarang? Siapa nama kita?" Diriku yang lain, yang masih belum beranjak dari sisiku, menegaskan. Aku mengangguk.

Ya. Aku ingat sekarang. Aku adalah Anette. Istri Simon Reed. Pemilik kapal pesiar Lady Livibond yang terkenal itu.

"Sekarang cari tahu bagaimana cara kita mati." Diriku yang lain memberi tantangan. Seketika wajahku berubah tegang.

Bukan hanya nama Simon yang muncul di kepalaku. Ada satu nama yang tak kalah penting. John Rivers.

Jhon Rivers adalah seorang perwira yang bekerja sebagai kapten di Kapal Lady Lovibond. Kukira laki-laki bertubuh atletis itulah yang memegang peran penting atas kematianku.

John, ia jatuh cinta kepadaku. Jatuh cinta yang amat sangat. Jatuh cinta yang membuatnya cemburu membabi buta melihat kemesraan yang ditunjukkan oleh Simon kepadaku.

Kecemburuan itulah yang memicunya nekat menghabisi nyawa kami. Kecemburuan yang mengakibatkan kapal pesiar Lady Lovibond tenggelam. 

Ya. Jhon Rivers sengaja mengarahkan kapal ke arah rute yang berbahaya. Rute yang memiliki banyak jebakan palung dan batu karang.

"Kau puas sekarang?" Diriku yang lain menatapku seraya tersenyum.

"Tidak!" Aku menggeleng tegas. Menolak mentah-mentah kisah tragis yang pernah terjadi itu. Jhon Rivers memang telah berhasil mengandaskan kapal beserta seluruh penumpangnya. Tetapi itu tidak berlaku bagi diriku. Aku tidak mati. Aku berhasil menyelamatkan diri.

"Jika benar kamu belum mati, lantas bagaimana cara kamu menyelamatkan diri?" Diriku yang lain bertanya putus asa.

Aku tertawa. Tawa yang amat keras dan memilukan. Tawa yang  membuat sekawanan burung camar menguar ke udara. Tawa yang menggiring para nelayan bergegas mengayuh perahu kembali menuju pantai.

"Hooiiiiii....Kapal berhantu itu muncul lagi. Membawa arwah Anette yang masih penasaran!"

Entah siapa yang berseru demikian. Aku tak peduli.

***
Malang, 18 Juni 2023
Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun