Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dukungan Moril, Penyambung Mata Rantai Anak Putus Sekolah

7 Mei 2023   05:51 Diperbarui: 7 Mei 2023   07:25 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan lalu saya melakukan kunjungan rutin ke Kampung Topeng. Tempat bermukim para ex gepeng dan anak-anak jalanan.

Ada satu hal yang membuat saya kepikiran hingga saat ini. Nasib salah satu bocah yang tinggal di sana, bernama Kiki, berusia sekitar 9 tahun. 

Kiki baru saja kehilangan ibundanya. Setelah dua tahun silam ayahnya berpulang mendahului. Praktis Kiki kini menjadi yatim piatu.

Dan, yang membuat hati ini miris adalah, sejak ditinggal ibundanya, Kiki jadi kurang bersemangat. Bahkan tidak mau bersekolah lagi. Dari penuturan teman-temannya, saya mendapat bocoran mengapa Kiki sampai melakukan aksi mogok sekolah itu.

"Dia malu karena sudah kelas 2 belum bisa membaca, Bun."

Sebagai seorang ibu, mendengar hal demikian, sontak jiwa cerewet saya muncul. Saya pun ngerih-erih Kiki, merayunya agar ia mau masuk sekolah lagi.

"Sekolah itu penting, Nak. Sangat penting. Dengan rajin bersekolah kamu bisa mewujudkan cita-citamu. Bukankah kamu ingin menjadi Polisi? Masa Polisi tidak sekolah? Mana bisa?'

Sebelum meninggalkan Kampung Topeng, saya kembali mewanti-wanti Kiki.

"Minggu depan kalau Bunda Lilik ke sini, Kiki harus sudah sekolah. Oke?"

Bersama Kiki dkk. Foto dokumen pribadi
Bersama Kiki dkk. Foto dokumen pribadi

Saya Pernah Mengalami Putus Sekolah, dan Itu Menyedihkan

Bicara tentang anak putus sekolah, saya punya pengalaman pribadi yang tidak terlupakan.

Ya. Saya pernah mengalami putus sekolah. Saya tidak bisa melanjutkan ke jenjang SLTP setelah lulus Sekolah Dasar.

Apa sebab?

Karena saya hidup di lingkungan yang kurang mampu, juga kurang memahami betapa pentingnya mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Kedua orangtua angkat saya memiliki prinsip jadul; Setinggi apa pun anak perempuan bersekolah, toh kelak ia akan berkutat juga di dapur, sumur, dan kasur.

Dan, prinsip itu diberlakukan pula kepada diri saya.

Lulus kelas 6 SD, saya tidak mendapat support apa pun, dan dari siapa pun. Saya dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu saja tanpa pengarahan. Saya hanya mendengar satu rencana, yakni dalam waktu dekat saya akan dijodohkan dengan seorang pria, kerabat dekat dari ibu angkat saya.

Perjodohan, ya?

Tentu saja saya ngeri mendengarnya. Bukankah saya ini masih bocah, masih bau kencur? Saya bahkan belum akil baligh. 

Saat itu saya hanya paham satu hal. Di dalam diri ini ada sesuatu---yakni cita-cita yang harus saya raih dan saya wujudkan.

Dari situlah awal saya berani melakukan pemberontakan.

Singkat cerita, saya menolak mentah-mentah perjodohan itu. Saya memberanikan diri bicara baik-baik dengan pria yang akan dijodohkan dengan saya, yang usianya juga terbilang masih muda. Saya katakan kepada pria itu jikalau saya masih ingin melanjutkan sekolah.

Beruntung pria itu mau mengerti.

Selanjutnya, saya, gadis berusia belasan tahun itu harus berjuang sendiri. Menyimpan mimpinya dalam-dalam. Salah satunya adalah mimpi untuk bisa bersekolah lagi seperti teman-teman sebayanya.

Input sumber https://www.wallpaperbetter.com
Input sumber https://www.wallpaperbetter.com

Bagaimana usaha si bocah agar bisa menyambung mata rantai pendidikan yang terputus?

Setelah berhasil melepaskan diri dari rencana pernikahan dini itu, saya harus bekerja. Menjadi buruh bungkus es lilin di rumah salah seorang tetangga yang memiliki toko kelontong. Saya harus merelakan satu tahun waktu terbuang, demi mengumpulkan rupiah agar bisa membiayai sekolah saya sendiri.

Sedikit demi sedikit tabungan pun terkumpul. Satu tahun kemudian, ketika tahun ajaran baru, saya bisa mendaftar ke SLTP.

Alhamdulillah.

Dan, di hari itu, di hari pertama saya masuk sekolah tak terasa air mata ini berlinang.

"Tuhan... Akhirnya bisa juga seragam biru putih itu kukenakan."

***

Jenjang SLTP saya lalui dengan penuh perjuangan. Kebetulan sekolah saya masuk siang hari bakda Duhur. Pagi hari saya masih bisa melanjutkan bekerja sebagai buruh pembungkus es lilin agar tetap bisa menabung untuk membeli buku dan keperluan sekolah lainnya.

Alhamdulillah lagi. Ternyata saya dikaruniai otak yang lumayan cerdas. Peluang mendapat beasiswa pun terbentang luas.

Ya. Saya berkesempatan mendapat kucuran dana pendidikan dari pemerintah karena prestasi akademik saya. Semakin terpacu semangat ini untuk terus melangkah melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Nyaris Putus Sekolah Lagi

Alhamdulillah. Saya behasil lulus SLTP dengan nilai memuaskan.

Tapi, lagi-lagi tidak seorang pun yang peduli. Tidak juga ada yang berkenan memberi support atau arahan harus bagaimana dan melakukan apa seusai saya lulus SLTP ini.

Dan, minimnya informasi membuat saya ketinggalan mengikuti pendaftaran masuk jenjang SLTA. Maklum, di era tahun 80-an, informasi pendidikan yang ada tidak segencar era
sekarang. Ditambah pula, saya tinggal di daerah terpencil di pinggiran kota.

Haruskah cita-cita terhenti sampai di sini?

Tentu saja tidak!

Saya tetap berupaya untuk melanjutkan sekolah. Saya tidak menggubris cemoohan tetangga yang usil, yang mengatakan saya lebih pantas menikah ketimbang mencari ilmu.

Sampai suatu hari, tanpa sengaja saya melihat banner pengumuman itu, terpampang lebar ketika saya menemani kakak angkat bertamu ke daerah pelosok. Pengumuman dari salah satu SLTA yang masih membuka pendaftaran siswa baru.

Tanpa pikir panjang, saya segera mendaftarkan diri di sekolah itu. Tak peduli meski jarak tempuh dari rumah tinggal saya sangatlah jauh. Yang penting saya bisa sekolah. 

Kembali hati ini diselimuti rasa haru manakala seragam abu-abu putih itu akhirnya bisa saya kenakan.

Mendapat Beasiswa Lagi, dan Lagi

Ya. Saya melihat peluang itu. Ada beasiswa bagi siswa berprestasi di sekolah tempat saya menuntut ilmu. Tentu, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik itu.

Sebagai siswa yang berasal dari keluarga ekonomi bawah, beasiswa menjadi harapan satu-satunya untuk bisa mewujudkan impian yang terpendam. Saya pun berusaha terus mempertahankan prestasi akademik saya dengan disiplin dan tekun belajar.

Alhasil. Saat kelulusan saya meraih nilai gemilang. Dan, kembali mendapat beasiswa dari pemerintah setempat untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Gagal Lanjut ke Perguruan Tinggi, Bukan Akhir Segalanya

Mendadak ayah angkat sakit keras dan itu mengharuskan saya menjadi tulang punggung keluarga. Membuat beasiswa untuk lanjut ke PT tidak saya ambil.

Apakah saya menyesal?

Ya. Rasa sesal itu sempat terbersit di hati kecil saya. Tapi, kemudian saya mengalihkannya ke bentuk rasa syukur. Bersyukur Allah telah memberi kesempatan dan kemudahan sampai sejauh ini.

Meski hanya lulusan SLTA, saya tidak berkecil hati. Saya tetap bisa mewujudkan cita-cita yang tersimpan sejak kecil. Yakni menjadi seorang guru atau pengajar.

Tidak jadi soal sekalipun hanya guru bimbel rumahan saja. Paling tidak saya pernah menggelutinya selama 15 tahun lebih. Siswa -siswi saya lumayan banyak, datang dari segala penjuru desa, dan terdiri dari anak-anak usia TK, SD, hingga SLTP.

Begitu pun, kadang saya masih menyempatkan diri datang ke panti asuhan, menemui anak-anak kurang beruntung yang tinggal di sana, menemani mereka belajar.

Oh, ya. Bukan hanya itu. Saya juga kerap memberi semangat kepada anak-anak putus sekolah yang ada di sekitar lingkungan saya. Dengan memberi semangat dan nasihat betapa pentingnya menuntut ilmu.

Terkadang pula memberi masukan kepada orangtua (tetangga-tetangga sekitar), yang putus asa karena tidak memiliki biaya untuk kelanjutan pendidikan putra-putrinya.

"Jangan lelah memberi dukungan kepada anak-anak kita agar meteka terus bersekolah. Beri kesempatan anak-anak mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Biarkan mereka bangga bisa meraih impiannya. Dan, jangan pula berkecil hati masalah biaya. Ada banyak beasiswa tersedia, baik dari pemerintah ataupun swasta. Bismillah. Semua akan dipermudah asal ada niat dan kemauan."

Selalu itu yang terucap dari bibir saya setiap kali mendapat curhatan dari orangtua yang anaknya terancam putus sekolah.

Ya. Saya tak segan memberi contoh nyata. Contoh real. Dari diri saya sendiri serta apa yang sudah saya terapkan terhadap keempat anak-anak saya.

Anak-anak telah belajar banyak dari kegigihan ibunya ini. Mereka berjuang untuk bisa melanjutkan pendidikan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Bahkan, salah satu putri saya berhasil mewujudkan impiannya, menuntut ilmu di Negeri Sakura. Saat ini ia tengah menjalani program S3-nya. Dengan beasiswa penuh dari pemerintah Jepang.

Kisah si bungsu ini pernah saya tulis di sini.

Jadi, sesungguhnya sampai kapan pun tugas kita sebagai orangtua tidak pernah usai. Terutama bagi orangtua yang memiliki putra-putri yang masih mengenyam pendidikan di sekolah. Selain memberi fasilitas material (jika mampu), memberi dukungan moril juga merupakan kewajiban utama.

Karena bagaimanapun juga, tanpa dukungan moril kita tidak akan mampu menyambung mata rantai anak 'putus sekolah'. Yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi karena berbagai sebab dan alasan.

***
Malang, 7 Mei 2023
Lilik Fatimah Azzahra
Artikel ini ditulis untuk event KPB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun