Bluum!!!
Bunyi aneh dan keras itu meletup dari moncong bambu berukuran sedang. Beberapa orang yang kebetulan lewat menoleh seraya mengomel karena kaget.
"Awas, Prit! Jangan berdiri di situ!"Â
Peringatan itu bukannya membuat saya minggir, tapi malah mendekati gelondong bambu yang masih mengepulkan asap. Karena penasaran, saya melongokkan wajah. Dan, alhasil seluruh permukaan wajah coreng moreng tersaput jelaga.
Pulang ke rumah berpapasan dengan Ibu. Sontak dihadiahi nasihat panjang bak jalan kereta api.
"Masya Allah, Nduk. Kamu itu anak perempuan. Jangan main sama anak laki-laki yang tingkahnya nggak karuan. Untung terkena langesnya saja, kalau semisal tersulut apinya piye? Bla...bla...bla..."
Dasar bocah. Nasihat panjang lebar lewat selintasan saja, masuk kuping kanan keluar telinga kiri.
Usai cuci muka, mindik-mindik keluar rumah lagi. Melanjutkan ngabuburit bersama teman-teman yang masih berada di area eksperimen 'mercon bumbung'. Tapi suasana sudah sepi. Tidak terdengar bunyi blam-blum lagi.
"Lah, sudah mau bubar, tah? Kan azan Magrib masih lama." Saya bertanya kecewa.
"Ganti permainan lain, Prit. Kita ke halaman musala saja, yuk. Main petak umpet di sana. Biar pas azan Magrib berkumandang kita duluan yang dengar." Hadi, sang perakit 'mercon bumbung' mengusulkan. Semua setuju. Tanpa menunggu lama kami bergegas menuju halaman musala yang cukup luas.
"Anak-anak! Ayo ambil wudu, sholat Ashar, lanjut tadarus! Puasa-puasa jangan main terus!"