"Waktu terus beranjak, Ka. Jangan menghujaniku dengan syair-syair memabukkan," suaraku tertcekat di tenggorokan. Merupa embusan angin.
"Baiklah. Sini, mendekatlah." Raka meraih pundakku. Lalu dengan tenang membisikkan sesuatu di telingaku.
***
Derap kaki kuda terdengar riuh memasuki halaman pendapa. Ayahanda --- Mpu Purwa dan para tetua sudah berdiri berjajar. Rapi. Siap menyambut iring-iringan tamu yang diutus oleh Jaka Lola.
Sementara aku duduk bersimpuh di atas lantai dingin pendapa, ditemani Ibu. Tak ada senyum menghiasi wajah kami. Juga tak ada sekelumit kata yang terucap. Suasana hening, mamring, dan bisu.
Sampai kemudian Ayahanda membawa salah seorang utusan Jaka Lola masuk menemuiku.
"Ada pesan yang bisa hamba sampaikan kepada junjungan kami?" Utusan itu membungkukkan badan ke arahku.
"Ya. Tolong sampaikan kepada tuanmu. Ken Dedes minta dibuatkan sebuah sendang padusan. Hanya dalam waktu semalam!" Aku berkata tegas. Â
Lalu mataku beralih ke arah Ayahanda.Â
Kulihat wajah lelaki bijak itu mendadak berubah pucat dan begitu renta.
***
Membuat sendang padusan dalam waktu semalam? Kami --- aku dan Raka, tertawa-tawa. Mana mungkin Jaka Lola mampu melakukannya? Sepintar dan sesakti apa pun dia.
Tapi tunggu dulu! Jangan terburu menganggap enteng kemampuan Jaka Lola. Kiranya lelaki itu adalah lelaki sakti mandraguna. Juga seorang pejuang cinta yang gigih.