***
Kami berjalan beriringan di atas trotoar tanpa membahas lagi berita yang sedang viral itu. Jhon memang sepupu, sekaligus partner kerja yang baik. Ia tahu kapan sebuah kasus kami anggap berbobot dan kapan kasus itu sama sekali tidak menarik untuk kami perbicangkan.
Beberapa menit kemudian kami sampai di sebuah taman kota yang sore itu terlihat sangat lengang. Banyak bangku kosong bertebaran menunggu untuk diduduki.
Jhon mendahuluiku menghentikan langkah. Ia memilih tempat duduk tepat di samping air mancur yang dikelilingi kolam berhiaskan bunga lotus.
"Aku tahu gemericik air akan membuat pikiranmu bekerja lebih jernih, Sherlick." Jhon menyindirku. Aku tertawa. Jhon memang selalu memiliki cara unik untuk menggali deduksi yang sengaja kusembunyikan.
"Kau benar, Jhon. Melihat air mancur ini aku jadi teringat Air Terjun Reichenbach di mana Jim Moriarty mengira dirinya berhasil memenangkan pertarungan dan membunuh Sherlock Holmes. Kautahu, Jhon? Meski sama-sama jago bidik, tetap saja saat terjadi baku tembak keduanya mengalami luka-luka."
"Logikanya memang begitu, kan, Sherlick?"
"Yup. Sayangnya banyak kasus menyeruak dan sengaja mengabaikan unsur kelogisan. Tapi, ah, sudahlah! Aku lebih tertarik mendiskusikan bagaimana Tuan Conan Doyle akhirnya memutuskan menghidupkan kembali Sherlock Holmes yang sudah mati ketimbang membahas soal...." Aku sengaja menghentikan kalimat ketika sepasang burung dara berkejaran memutari air mancur.
"Lanjutkan, Sherlick," Jhon memajukan kepalanyaÂ
"Oh, maaf, Jhon. Maksudku --- aku enggan membahas kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha dalam versi modern." Aku menoleh ke arah Jhon dan tersenyum penuh arti.Â
Jhon sontak bersiul seraya menjentikkan kedua jemarinya.Â
"Bravo! Eh, tapi aneh. Mendadak angin berembus terlalu dingin di sini. Mari kita kembali ke apartemenmu, Sherlick. Aku ingin melanjutkan mengudut sigaret yang tadi lupa kubawa. Kau tidak keberatan, bukan?" Jhon berdiri. Aku mengikuti.Â