Seperti biasa, kedatangan Jhon ke apartemenku bukanlah tanpa sebab. Ia pasti ingin mengabarkan tentang sesuatu.
Dan, benarlah. Sembari mengempaskan badan di atas sofa, sepupuku itu langsung membahas mengenai kasus baku tembak yang sedang viral, yang melibatkan dua orang pria di sebuah rumah dinas.
"Kejadiannya sangat miris. Satu pria dinyatakan tewas dengan tujuh luka tembak di tubuhnya." Jhon terdiam sejenak, tangan kanannya merogoh saku jaket, mengeluarkan sebatang sigaret dan menyelipkan di antara kedua bibirnya.
"Kukira ini kasus paling menggelikan yang pernah kudengar, Jhon." Aku menyela seraya menarik tirai jendela. Memberi kesempatan pada mata dan pikiranku untuk mempelajari keadaan di luar.
Jhon terbatuk. Aku tahu ia kesal mendapati sikapku yang kurang responsif terhadap berita yang baru saja disampaikannya.
"Tidakkah kau merasa aneh, Sherlick, satu pria --- dari kedua pria yang saling baku tembak itu sama sekali tidak mengalami luka-luka? Padahal jarak tembak mereka cukup dekat. Ng, menurutku ini sangat janggal dan tidak adil." Jhon meletakkan sigaretnya di atas pinggiran asbak. Matanya yang kecoklatan tertuju tajam ke arahku.
"Oh, Jhon. Alurnya terlalu mudah untuk ditebak. Dan kau paham, bukan? Aku paling malas mempelajari hal-hal yang dari awal terkesan dipaksakan." Aku mengangkat bahu.
"Apakah itu artinya kau beranggapan sama sepertiku, Sherlick? Bahwa semua ini hanya rekayasa. Termasuk CCTV yang dinyatakan rusak itu." Jhon masih mencoba memancing-mancing pembicaraan.
"Astaga, Jhon! Di luar langit sedang cerah. Alangkah menyenangkan jika kau bersedia menemaniku mencari angin, sebentar saja." Aku menarik kembali tirai jendela yang tersingkap. Jhon sontak mematikan sigaretnya lalu sigap berdiri.
Ya. Sepupuku itu, ia hafal betul ke mana kami akan pergi.