Jemari tangan Nyai Denik lincah menyusun kartu ceki di atas meja hingga membentuk setengah lingkaran. Bibirnya yang kering berkomat-kamit.
Dua perempuan ---ibu dan anak, duduk bersimpuh di hadapannya.
Sebelum membalikkan salah satu kartu, Nyai Denik menatap dua perempuan itu, secara bergantian. Mata tuanya sesekali menyipit dan berkejap-kejap.
"Teluh gantung jodoh!" Seru Nyai Denik tiba-tiba, membuat dua perempuan berbeda usia itu njenggirat kaget.
"Coba ingat-ingat, Sun. Siapa kira-kira yang telah kaubuat sakit hati selama ini?" Nyai Denik menajamkan tatapannya.
Perempuan yang dipanggil Sun itu terdiam sejenak. Lalu menjawab hati-hati. "Ki Lurah Marwan, Nyai. Beberapa bulan lalu setelah kematian suamiku, ia datang ke rumah. Meminta agar aku bersedia dijadikan istri kedua."
"Dan kau menolaknya?"
"Betul, Nyai."
"Kau harus datang meminta maaf kepada Ki Lurah Marwan, Sun. Jika tidak, dendamnya akan dialihkan kepada putrimu ini." Nyai Denik berkata setengah mendesis.
Sun tertegun. Lalu menoleh ke arah anak gadisnya yang duduk meringkuk di sampingnya.