Di pelataran hari, pagi menggigil ditumpahi hujan. Matahari kehilangan lampu. Cahayanya tertinggal di sudut keranda kabut.
"Kita adalah sepasang kekasih!" Hujan merayu pagi. Tempiasnya mengayun garang. Seperti sabetan pedang.
Tapi pagi tetap harus pergi. Memenuhi panggilan waktu.
Hujan enggan kesepian. Ia lari lintang pukang. Mengejar bayang pagi yang mulai pudar. Sesekali ia jatuh, terjerembab ke dalam gorong-gorong air yang dipenuhi sampah.
"Dengar. Kita sudah ditakdirkan menjadi sepasang kekasih!" Hujan meracau kacau, sekali lagi. Tapi pagi tak lagi hirau. Pagi terus saja pergi meninggalkan hujan sendirian.
"Ini patah hati yang kesekian." Hujan meratapi nasib pedih yang berulang.
Di bawah kuntum plumeria hujan memutuskan mengakhiri perjalanan.
Di atas kabel listrik yang berjuntai gagak-gagak hitam bersorak kegirangan, "Horeeeee...hujan mati bunuh diri!"
Di lanskap langit, matahari menemukan kembali lampu ajaibnya yang tercuri.
***
Malang, 19 November 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H