Begitu turun dari motor, tidak seperti kebanyakan wisatawan yang langsung antre di depan kedai kopi yang dibangun ala-ala cafe, saya malah sibuk mencari-cari sosok laki-laki sepantaran yang membuat saya penasaran sejak berangkat dari rumah.
Setelah bertanya ke sana kemari akhirnya bertemulah saya dengan Mas Kambang. Sosok yang saya cari-cari itu. Dan, pecahlah rasa haru bercampur gembira di antara kami.
Asal tahu saja, Mas Kambang ini sejatinya adalah teman sekelas saya semasa SMU. Bayangkan. Kami baru bertemu lagi setelah puluhan tahun kehilangan kontak.Â
Di mata saya Mas Kambang sama sekali tidak berubah. Ia tetap sosok sederhana, murah senyum, ramah, dan lugu. Khas pembawaan orang desa.
Yang membuat saya kagum dan salut kepadanya adalah, di balik kesederhanaannya Mas Kambang ternyata mampu menjadi penggerak bagi masyarakat Desa Taji. Berkat dirinya-lah Desa Taji yang letaknya jauh terpencil di lereng Gunung Bromo menjadi desa yang terkenal dan selalu ramai dikunjungi tamu.
Sekadar informasi. Mas Kambang ini adalah petani yang pertama kali menggagas agar penanaman Kopi Taji warisan nenek moyang mereka yang sempat mati suri dihidupkan kembali.
Luar biasa.
Seperti yang diceritakan Mas Kambang kepada saya. Ia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengelola perkebunan kopi di lereng Gunung Bromo. Ia tidak segan turun langsung memberi contoh, mengadakan pelatihan dan bimbingan, ngemong, sekaligus memasok hasil panen kopi seluruh warga desa.
Ya, Mas Kambang bersama putranya, tak lelah berjuang memasarkan serta memperkenalkan Kopi Taji ke dunia luar.