***
Pada kisah lain.Â
Suatu malam saya harus pergi ke pasar bunga mengambil pesanan rangkaian melati untuk prosesi panggih esok hari. Di pasar bunga inilah saya mengalami kejadian aneh.
Hari sudah sangat larut. Suasana pasar bunga tampak sepi dan mamring. Beberapa pedagang menunggui bedak mereka dengan mata terkantuk-kantuk.
Saya gegas mendatangi penjual bunga yang menjadi langganan, menanyakan melati pesanan apakah sudah rampung.Â
Sayangnya pesanan saya belum selesai. Menurut penjual bunga langganan saya itu, keberadaan melati sedang langka. Kalau pun ada, tersisa melati kuncup yang sudah layu dan harganya mahal minta ampun.
Bagaimana ini? Menunggu sampai besok jelas tidak mungkin. Wong prosesi panggih dilaksanakan pagi hari.
Saat berdiri kebingungan itulah mendadak ada bapak-bapak tua di salah satu bedak paling ujung melambaikan tangan ke arah saya. Saya pun gegas menghampiri.
Ndilalah si bapak tua itu menawarkan roncean melati kepada saya. Tentu saja saya menyambut gembira. Apalagi harga yang dipatok oleh si bapak sangat murah. Saya bahkan nyaris tidak percaya ketika beliau menyebutkan nilai nominalnya.
Senangnya lagi saat saya periksa roncean melati garapan si bapak sangat rapi dan halus. Melatinya juga melati pilihan. Masih segar dan mekar begitu indah.
Sembari mengeluarkan isi dompet iseng saya bertanya siapa nama bapak tua itu. Beliau menjawab, "Namaku Darto. Panggil saja Pak Darto."
Dua hari usai merias pengantin saya kembali ke pasar bunga untuk membeli ubarampe guna prosesi ngunduh mantu. Kali ini saya datang tidak terlalu malam.