Mendengar nama tumpeng disebut, tentu yang terlintas di benak kita adalah nasi berbentuk unik yang dikitari aneka lauk dan sayuran.
Keunikan lain, tumpeng biasanya disajikan pada acara-acara tertentu. Semisal peringatan hari lahir, peresmian sebuah gedung, pembangunan rumah, acara pernikahan, malam tirakatan, dan lain sebagainya.
Sebenarnya sejak kapan tradisi tumpeng ini dikenal oleh masyarakat kita?
Untuk mencari tahu jawabannya, yuk, kita kulik bersama-sama sejarah keberadaan tumpeng.
Tumpeng Ada Sejak Zaman Nenek MoyangÂ
Tradisi menyajikan nasi tumpeng tidak terlepas dari jejak nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun temurun. Tradisi ini masih dipertahankan hingga sekarang, khususnya di sekitar wilayah Pulau Jawa, Bali, dan Madura.
Sejarah penyajian tumpeng sendiri dimulai sejak berabad-abad silam, sebelum agama resmi masuk ke Indonesia.
Awalnya tumpeng diciptakan sebagai media persembahan kepada alam, utamanya kepada gunung-gunung.Â
Nenek moyang kita percaya bahwa ruh-ruh leluhur mereka mendiami gunung-gunung yang keberadaannya wajib dimuliakan.
Saat ajaran Hindu memasuki wilayah Nusantara, tumpeng mulai berubah wujud. Tumpeng dibentuk mengerucut menyerupai puncak Mahameru, gunung tertinggi di Pulau Jawa yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewi mereka.
Selanjutnya, setelah agama Islam menyusul dan menyebar di wilayah Nusantara, sajian tumpeng pun mengalami pergeseran makna.
Tumpeng tidak lagi untuk persembahan ruh-ruh leluhur. Melainkan disajikan sebagai santapan bersama untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Mahaesa atas berkah dan karunia yang telah dilimpahkan.
Filosofi Tersembunyi di Balik Sajian Tumpeng
Tumpeng merupakan akronim dari Bahasa Jawa yakni: metu kudu mempeng. Artinya begitu keluar harus bersungguh-sungguh. Atau dalam menjalani hidup ini seseorang harus terus bersemangat.
Penampakan tumpeng yang dibentuk sedemikian rupa beserta lauk pauk dan sayur yang menyertainya ternyata bukan dibuat asal, namun setiap detilnya mengandung makna yang cukup mendalam.
Yuuk, kita mulai menyisir maknanya satu per satu, yaa.
Sajian Tumpeng Setidaknya Harus Mengandung 7 Unsur Olahan Makanan
Mengapa harus 7?
Begini.Â
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, angka 7 memiliki makna sangat penting. Tujuh atau pitu merujuk pada kata pitulungan (pertolongan).
Bahwa untuk meraih suatu pencapaian, apa pun itu, selain berusaha manusia wajib mendekatkan diri mohon pertolongan kepadaNya.
Trus, 7 macam olahan itu jenisnya apa saja?
Di sini saya contohkan Tumpeng Robyong, yaa, yakni tumpeng yang biasa disajikan untuk acara pernikahan. Dan, makna tersiratnya dikhususkan untuk kedua mempelai.
Sajian Tumpeng Robyong terdiri dari; nasi putih, ayam bumbu kuning, telur, ikan teri, sayur kluwih, sayur urap, dan irisan cabe merah.
Dan, dari masing-masing olahan mengandung filosofi sebagai berikut:
1. Nasi Putih Bentuk Kerucut
Nasi putih yang dibentuk menjulang semacam replika gunung itu memiliki filosofi bahwa kedua mempelai wajib mengakui keagungan dan kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.
Bentuk kerucut mengingatkan adanya hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya yang tidak boleh diabaikan.
Sedang warna putih dari nasi melambangkan kesucian hati.
2. Olahan Ayam Bumbu Kuning
Dalam menyajikan Tumpeng Robyong , biasanya akan dipilih ayam jantan ketimbang ayam betina sebagai olahan lauknya.Â
Dipilihnya ayam jantan adalah sebagai pengingat bahwa sebisa mungkin mempelai pria menjauhi watak buruk ayam jantan seperti sombong, banyak bicara, tidak setia pada pasangannya, mau menang sendiri, suka berkelahi, dan lain-lain.
3. Olahan Telur
Keberadaan telur memiliki makna; bunder e karep. Atau kebulatan tekad.
Telur sengaja dibiarkan utuh untuk memberi pemaknaan bahwa dalam menjalankan sesuatu (pekerjaan) harus diikuti tekad yang gigih, pantang menyerah saat menghadapi situasi apa pun.
Selain itu senantiasa pasangan yang baru menikah hendaklah bersikap nastiti, atau hati-hati, tidak grusa-grusu sebagaimana saat kita mengupas telur dari kulitnya agar hasilnya sempurna.
4. Olahan Ikan Teri
Ikan teri yang mendampingi sajian Tumpeng Robyong memiliki makna gotong royong dan keguyupan dalam keluarga.
5. Sayur Kluwih
Keberadaan sayur kluwih merupakan simbol: kehidupan keluarga baru senantiasa memperoleh berkat sing linuwih (rezeki yang berlebih).
6. Sayur Urap
Sayur urap biasanya terdiri dari kangkung, kubis, kacang panjang, dan kecambah.
Kangkung merujuk pada sikap jinangkung (melindungi) dari sosok suami.
Bayam atau bayem simbol urip ayem tentrem (hidup damai dan tenang).
Kubis bermakna begja kang ora uwis-uwis (keberuntungan yang tiada habis).
Kacang panjang bermakna dinowoe ing pikir lan jangkah (panjang pikir dan langkah).
Kecambah memiliki simbol urip kudu tinukul (hidup harus berkembang).
Sedang bumbu urapnya bermakna kerukunan dan keharmonisan berkeluarga.
7. Irisan Cabe Merah
Irisan cabe merah pada ujung nasi Tumpeng melambangkan sifat baik manusia yang seharusnya mampu menjadi penerang dan suritauladan bagi orang lain.
Selain Tumpeng Robyong, jenis-jenis tumpeng lain seperti tumpeng nasi kuning, pemaknaan filosofinya kurang lebih sama. Meski olahan lauk yang menyertai antara tumpeng nasi putih dan nasi kuning memiliki sedikit perbedaan.
Pada tumpeng nasi kuning, lauk pauk diolah garingan (masakan kering), untuk penyesuaian lidah. Jadi, jangan harap Anda akan menemukan sayur urap pada sajian tumpeng nasi kuning.
Nah, bagaimana? Anda tertarik untuk memasak dan menyajikan salah satu dari tumpeng di atas setelah membaca artikel ini?
Salam sehat!
***
Malang, 17 Oktober 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI