Lama nian aku tidak bertandang ke hatimu. Apa kau masih bisa mengenali suaraku? Yang hilang timbul bersama pusaran waktu.
Jika tidak lagi (mengenali suaraku), cobalah berdiri di dekat jendela. Pandanglah langit yang terbentang bersahaja. Lalu, tajamkan pendengaran sedemikian rupa.
Aku baru saja menitip sejumput kata-kata. Pada seekor burung bernama latin cuculus merulinus. Yang meringkuk diam di pucuk ranting pohon pinus.
"Itu Kedasih!"
Aku berharap kau berseru demikian. Seraya merapikan rambut yang tergerai berantakan.
Oh, tentu saja aku senang. Meski Kedasih adalah lambang kesendirian. Namun, dengan mengingatnya aku menjadi paham. Bahwa sesungguhnya di hidupmu aku belum benar-benar terlupakan.
Sudah lama aku tidak bertamu di hatimu. Apakah masih ada satu bangku dan secangkir kopi tanpa gula yang sengaja kausisihkan?
Jika tidak ada lagi, cobalah beranjak menuju dapur. Nyalakan tungku yang apinya telah lama padam. Pejamkan mata rapat-rapat. Rasakan hangatnya bara beberapa saat.
Sebab, aku baru saja menitip segenggam rindu. Pada setumpuk kayu bernama ilmiah swietenia macrophylla.
Oh, kau tidak bisa lagi mengingatnya?
Tak apa. Aku mahfum.Â
Kadang, kita memang harus berani mengambil keputusan ketika dihadapkan pada dua pilihan; membiarkan rasa tersesat di labirin kenangan, ataukah saling melupakan.
***
Malang, 15 Oktober 2021
Lilik Fatimah Azzahra