Kekasih, kauhadir saat malam baru saja usai kudekap. Kauseka tabir di ujung mataku dengan senyum paling pikat.
Wahai, pemilik semesta kata-kata, pengrawit segala lika-liku kisah. Izinkan kumerebah di atas punggung perkasamu, barang sejenak. Tuk sekadar melabuhkan hasrat di hati yang tak henti riuh menggelegak.
Hasrat yang selama ini tersembunyi di balik kilau sayap kunang-kunang. Hasrat yang kebingungan ke mana kaki mesti melangkah menuju rumah bernama pulang.
Hangati aku, duhai pemilik api yang menyala dalam denting bening gerimis. Cumbui jiwaku, di antara kersik dan luruh dedaun pohon randu.
"Itu bukan pohon randu!" Sergahmu. "Tapi tunas rindu. Tunas yang pernah kita tanam di pelataran senja berwarna biru lazuardi. Dan, kita adalah saksi atas kelahiran berbait-bait anak puisi."
Lalu mata kita bersepandang. Bertukar cerlang dengan serpihan cahaya bulan. Â
Oh, Tuan ....
Bersamamu malam terasa hangat dan basah. Menenggelamkan sunyi yang lelah dikelabui oleh resah.
***
Malang, 17 September 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H