Jika tak bisa menorehkan setitik asa pada cahaya yang kausimpan di sudut mata
yakinlah masih bisa menggantang angan
tuk kaugantungkan di palung hati paling muram, sekali pun
Oh .... aku ingin
abadi bersama cinta
dalam perih
dalam luka
(Lingsir)
***
Bag. 2 Â
Perintah dari Atasan
Diar. Lelaki berambut gondrong itu mengamati sederet kalimat yang terpampamg di hadapannya. Ekspresinya datar. Sebatang rokok tanpa bara dibiarkan tetap terselip di antara kelopak bibirnya yang kering.
Sementara di luar langit senja mulai meredup. Sepertinya hari akan turun hujan. Iapun beranjak dari duduk. Berjalan ke arah jendela, menutup katup daunnya yang berderak-derak tertiup angin. Â Â
Usai menekan engsel hingga seluruh batang besinya masuk ke dalam lubang, langkahnya kembali menuju meja kerja. Mata tajamnya berhenti sejenak pada layar laptop yang masih menyala.
Hm. Puisi itu ditulis oleh seseorang yang memakai nama pena unik: Lingsir.
Lingsir? Siapa dia? Terlepas dari rasa penasaran mengenai sosok penulis itu, nama Lingsir mengingatkannya pada salah satu tembang yang pernah dianggit oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Lingsir Wengi.