Nama saya Sukati. Kata Ibu, nama itu adalah nama pemberian mendiang Kakek.
"Su artinya indah. Dan Kati artinya perempuan." Begitu Ibu menjelaskan perihal nama saya.
"Apakah Ibu senang mempunyai anak seperti aku?" tanya saya suatu hari seraya menatap wajah Ibu dalam-dalam. Ibu mengangguk pelan. Lalu menuntun tangan mungil saya menuju kamar tidur.
"Ya, Ibu senang. Karena kamu cantik seperti bunga sepatu." Ibu mengangkat tubuh saya lalu menidurkan di atas ranjang.
"Bagaimana dengan Bapak? Apakah ia juga menyayangi Sukati?" Kembali saya menatap wajah Ibu. Ibu tertegun sejenak. Mendadak saya melihat sekelebat mendung melintas di matanya.
"Tentu! Bapakmu tentu sangat menyayangimu," bisik Ibu seraya membetulkan letak selimut yang tersingkap, yang membuat tanda lahir berupa bulatan kecil hitam pada betis kaki kanan saya jelas terlihat.
Mendengar penegasan Ibu, saya merasa lega. Saya lantas memutuskan untuk segera tidur agar bisa bermimpi bertemu dengan Bapak, laki-laki yang mengukir jiwa raga saya, yang sama sekali tidak pernah saya kenal sosok maupun raut wajahnya.
***
Nama saya Sukati. Saya bukan lagi gadis kecil. Saya mulai tumbuh dan berkembang seperti bunga sepatu yang ditanam Ibu di halaman rumah. Fisik saya sudah mengalami banyak perubahan. Dada saya tidak lagi rata. Pinggul saya mulai membentuk lekukan yang membuat celana pendek jahitan tangan Ibu terasa lebih sesak dari biasanya.
"Sukati sudah besar, ya. Cantik seperti masa muda Sukesi." Seorang tetangga, ibu-ibu, memuji ketika kami berpapasan.