Sudah lama aku tidak berdiri di sana, di tengah area persawahan yang luas membentang. Menikmati hamparan padi yang menguning, mendengar kicau burung-burung, atau sekadar merasakan desir angin yang membuat rambut jagungku tersibak ke sana ke mari.
"Terima kasih sudah menjadi teman yang setia. Sekarang saatnya kau pensiun. Baik-baiklah tinggal di sini, di dalam gudang tua ini." Ujar lelaki muda itu seraya mencubit lembut pipiku. Aku mengangguk. Seekor anak cicak yang merayap di dinding sontak menengadah.
Pintu gudang tertutup kembali. Lelaki muda itu sudah berlalu pergi. Mesin motornya terdengar menggerung meninggalkan halaman yang dipenuhi rumput ilalang.
Kembali aku sendiri.
Oh, tidak. Aku tidak benar-benar sendiri. Ada anak cicak yang masih menatapku dengan pandang mata sayu. Dan, kupikir bercakap-cakap dengannya bisa sedikit memberi penghiburan, atau setidaknya mengusir rasa sepi yang tiba-tiba saja menyeruak.
"Siapa namamu?" tanyaku membuka percakapan.
"Cicak."
"Iya, aku tahu. Maksudku --- panggilan sayang apa yang diberikan oleh kedua orangtuamu?"
"Aku tidak punya orangtua," cicak kecil itu mengerutkan kepalanya.
"Oh, jangan sedih. Mulai saat ini anggap saja aku sebagai orangtuamu." Aku bergumam. Tanganku mendadak ingin mendekap tubuh mungil yang sama kesepiannya dengan diriku.
***
Lama nian lelaki muda itu tidak mengunjungiku. Sejak sawah yang luas itu laku terjual. Sejak ia menikah dengan anak semata wayang juragan Romli.