Di mana lagi bisa kudengar kidung dahana menyongsong datangnya pagi, kekasihku? Jika pecahan matahari sengaja kausembunyikan. Dan, titik-titik embun kaubiarkan membasah di sudut mata hingga menenggelamkan asa yang sempat terpatri indah di dinding-dinding sukma.
Berbulan sudah aku kehilangan jejak kaki langitmu. Juga suaramu yang menggelegar merupa muntahan lahar. Yang pernah menghangatkan jiwa beku dan mendusinkan rindu yang merupa arca batu.
Jadi, di mana lagi akan kutemu kecipak air telaga menyentuh dada dedaunan, pujaanku? Aku mencintaimu. Dua kata itu pernah kusematkan di antara rintik hujan yang tak kunjung henti berlari. Lalu, sengaja kaujatuhkan hatimu di atas rumput ilalang kering. Sebagai penanda agar aku tak lagi memuja air mata. Juga perih yang katamu tak pantas lagi untuk dikenang sebagai prasasti.
Di mana lagi bisa kita lihat anak-anak angan berlari bebas seperti dulu, kekasihku? Manakala lahan pikir telah diricuhi oleh gulma. Dan, masing-masing dari kita perlahan memutuskan berhenti meneruskan langkah.
Aku merindumu. Masih. Seperti dulu.Â
Lalu. Kaubiarkan suaraku jatuh. Ditimpa reruntuhan waktu.
***
Malang, 31 Januari 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H