Hai, diary. Apa kabarmu siang ini? Tetap sehat dan semangat, yaa.
Oh, iya, banyak yang menduga kalau aku ini pecinta fiksi sejati. Bisanya cuma nulis cerpen dan puisi.
Eits, siapa bilang? Gini-gini aku pernah juga loh, menulis tentang politik. Di Kompasiana? Iya. Tapi setelahnya aku sulit tidur karena diserang ngalor ngidul.
Eh, tapi, pernah pula secara diam-diam aku ikut andil di ajang lomba menulis politik yang diadakan oleh sebuah blog ternama dan terjaring sebagai salah satu pemenangnya. Nggak percaya? Coba cek di sini. Ada jejak namaku tertera di situ, kan?
Lantas mengapa sekarang tidak dilanjutkan?
Apanya?
Ya, menulis politiknya!
Nganu, hiks, dunia politik itu menurutku ngeri-ngeri serem. Penulisnya kudu cerdas, cermat, dan bermental baja (baca: ndableg). Trus ada yang bilang juga jika ranah politik itu dipenuhi toksin 3 G yakni Gesek, Gasak, dan Gosok. Hadeuh, entahlah.
Nah, diary. Poin cerdas, cermat, dan bermental baja itulah yang membuat aku mandek tidak lagi berani menulis politik. Cos aku menyadari otakku ini tidak terlalu cerdas, pikiranku kurang cermat, dan mentalku mental rempeyek. Mudah ambyar sekali geprek.
Selain itu, aku harus manut nasihat Simbah Buyut ini:Â
Ora usah rebutan balung tanpa isi. Politik solah bawane mung gontok-gontokan. Wis kana, enggal nulis fiksi! Sing maca setitik ora apa-apa. (Tidak perlu berebut tulang tanpa isi. Politik pembawaannya hanya berselisih paham. Sudah sana segera menulis fiksi! Yang baca sedikit tidak apa-apa.)
Sudah yaa, diary. Kita sepakat. Serahkan saja kanal Politik pada para ahlinya.
***
Malang, 27 Januari 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H