Tangis saya melengking pertama kali di sepertiga Bulan Desember. Bulan paling akhir dalam hitungan kalender tahun Masehi. Bapak lantas menggendong tubuh mungil saya. Melantunkan azan dengan suara paling merdu.Â
Ah, Bapak. Tentu. Saya tidak akan pernah melupakan momen indah itu.
Ibu meraih saya dari gendongan Bapak. Lalu menyusui dan mendekap saya. Dalam peluk paling hangat. Menggantikan tugas mulia para malaikat.Â
Duh, Ibu. Sungguh. Saya selalu rindu saat-saat bahagia Itu.
Kaki mungil saya menyentuh tanah pertama kali di sepertiga Bulan Desember. Bapak tak kunjung lelah membimbing langkah saya. Mengajari saya cara menapaki jalanan dengan benar. Ibu pun tak surut menyemangati. Kala saya terjatuh dan mengalami luka memar.
"Ayolah, Nak! Jangan trauma pada jatuh. Sebab jatuh akan melatihmu menjadi pribadi tangguh."
Saya jatuh cinta pertama kali di sepertiga Bulan Desember. Bapak tertawa renyah ketika mendengarnya. Ibu tersenyum lebar begitu mengetahuinya.Â
"Oh, Nak. Kamu sudah besar. Jatuh cinta itu wajar. Semoga dari fase ini kamu semakin banyak belajar."
Saya merayu-rayu malam di sepertiga Bulan Desember. Ketika bulir-bulir hujan tak lagi sudi bersahabat. Ketika butir-butir air mata berubah menjadi kristal di dada sedemikian pekat. Ketika saya kehilangan arah mata angin, untuk sesaat. Ketika saya kembali memilih terlelap di ruang dingin, sunyi, dan dikerubuti senyap.
(Tuhan. Saya ingin menghabiskan sepertiga Desember kali ini bersama rembulan di langitMu)
***