Tapi hati Nawangwulan terlanjur kecewa. Juga marah. Seraya menyerahkan bayi mungil dalam gendongannya kepada Tarub, perempuan titisan bidadari itu berkata dengan suara gemetar.
"Tahu tidak? Akibat perbuatanmu ini aku harus bersusah payah menumbuk padi setiap kali hendak menanak nasi!"
Dan, benarlah. Mulai hari itu Tarub melihat istrinya mesti bersusah payah mengeluarkan tumpukan padi dari dalam lumbung. Lalu menumbuknya dengan alu dan lesung.
Sementara dirinya mengemban tugas menjaga Nawangsih, bayi mungil yang mewarisi keelokan wajah ibundanya itu.
Sampai suatu hari. Nawangwulan terpekik kegirangan. Tanpa sengaja ia menemukan kembali selendang ajaib miliknya yang selama ini dianggap hilang. Selendang itu terselip di antara tumpukan padi di dalam lumbung.
"Oh, selendang ajaibku. Akhirnya kutemukan lagi!"
Sembari menari-nari Nawangwulan melilitkan selendang transparan itu pada pinggangnya yang ramping. Dan, wusssh. Kakinya yang bagus perlahan terangkat ke udara.
Waktunya mengucap selamat tinggal.
"Tarub! Enggal ditulungi Simbok ngresiki rombong bakso. Mumpung malem Minggu. Aja ndadak nglamun wae!" (Tarub! Lekas bantu Simbok membersihkan rombong bakso. Mumpung malam Minggu. Jangan melamun saja!")
Tarub. Pemuda pengangguran itu seketika membuang sisa puntung rokok di tangannya. Ia beranjak dari duduknya seraya tersenyum kecut.
Ah, khayalan barusan---tentang Dewi Nawangwulan, lumayan juga. Paling tidak membuatnya sejenak melupakan berkas-berkas lamaran pekerjaan yang hingga hari ini tidak kunjung mendapat balasan.