Sejenak saya ingin bernostalgia.
Dulu ketika masih duduk di bangku SD, saya kerap didapuk membacakan puisi tanpa teks di depan kelas. Atau biasa disebut "deklamasi". Saya masih ingat betul, puisi "Doa" karya Chairil Anwar adalah puisi favorit yang selalu saya bawakan.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahaya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Oh, iya. Alasan mengapa Ibu guru selalu memilih saya untuk mendeklamasikan puisi-puisi di depan kelas adalah---menurut beliau, saya bisa menjiwai isi puisi dengan sangat baik.
Semisal, saat membaca puisi bertema heroik, suara saya terdengar nyaring dan lantang. Wajah saya yang manis (ehem), berubah garang.
Sebaliknya saat membacakan puisi bernada sedih, suara saya mendayu-dayu diikuti ekspresi layaknya seseorang yang ditimpa kemalangan.
Dari suka membaca puisi tanpa teks itulah saya sering diundang manggung di tempat terbuka. Nyaris di setiap perayaan HUT Kemerdekaan RI atau pada hari-hari besar lainnya dipastikan saya selalu tampil.