Mark menelpon ibunya, memberi kabar bahwa ia akan pulang malam ini juga. Nyonya Emilia tentu saja merasa sangat gembira.
Segera perempuan berusia paruh baya itu merapikan meja makan. Ia ingin menyiapkan hidangan paling istimewa untuk menyambut Mark, anak semata wayangnya yang lama menetap di luar kota itu.
Usai merapikan meja makan Nyonya Emilia memutuskan pergi sebentar ke super market terdekat. Ia butuh beberapa batang lilin untuk berjaga-jaga jikalau nanti listrik di rumahnya mendadak padam.
Tidak sampai sepuluh menit Nyonya Emilia sudah kembali. Tergesa ia membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Dan, matanya berbinar indah begitu melihat Mark sudah duduk di ruang makan dengan posisi membelakangi.
Tapi langkah perempuan itu mendadak terhenti. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang dirasanya sangat janggal.
Mark. Secepat itu ia tiba di rumah? Hanya berselang dua puluh menit usai mereka mengakhiri percakapan lewat telpon.
Sungguh, itu sangat tidak mungkin. Mengingat jarak kota tempat tinggal Mark cukup jauh. Jika ditempuh dengan kendaraan umum paling cepat memakan waktu satu jam.
"Mom, aku berangkat menggunakan kereta api super ekspres." Seolah mengetahui apa yang tengah berkecamuk di dalam pikiran ibunya, Mark menjelaskan.
Nyonya Emilia masih berdiri mematung. Entah mengapa penjelasan Mark justru membuatnya semakin ragu.
"Boleh aku memulai makan malamnya, Mom? Cacing-cacing di dalam perutku sedari tadi sudah menari-nari," Mark meraih piring yang ditumpuk di atas meja.
Saat itulah---saat Mark mengulurkan tangan---Nyonya Emilia menyadari. Alangkah panjang jemari dan kuku-kuku Mark!