Tentu saja sebutan "anak gila" membuat Ibu malu. Sangat malu. Itulah sebab Ibu lebih suka mengurungku di dalam rumah.
Sebenarnya aku sudah sering mengatakan hal ini kepada Ibu; bahwa aku tidak gila seperti yang dituduhkan oleh orang-orang sialan itu.Â
Ya, aku tidak gila. Aku hanya bisa melihat mahluk dari alam lain.
Mereka---mahluk-mahluk dari alam lain itulah yang suka mengajakku bicara, bermain, dan tertawa-tawa sepanjang hari.
Seharusnya Ibu bangga mempunyai anak sepertiku. Seperti bangganya ia terhadap bayi mungil yang baru saja dilahirkannya. Bayi perempuan berparas cantik, yang dipaksakan harus kupanggil adik.
"Dia itu adikmu, Gus. Kamu harus ikut menjaganya. Kamu harus memprioritaskan dia. Ingat itu!"
***
"Hom pim pah! Waaah, sekarang aku kalah! Berarti aku yang harus mati!" Aku berseru kegirangan.
Lalu aku segera mencari-cari benda di sekelilingku, benda yang sekiranya bisa kupakai menuju mati.
Mataku nanar menyapu seluruh ruangan dan berhenti di dapur.
Ah, kiranya Ibu sudah menyembunyikan pisau-pisau dan benda tajam lainnya entah di mana. Juga botol kecap kemarin, yang kalau dipecahkan ujung-ujungnya bisa menusuk leherku dengan mudah.
"Sedang apa kamu, Gus?" Suara lantang Ibu mengagetkanku.