Iya, benar. Waktu itu saya baru saja melahirkan anak pertama. Dan, baru pindah dari rumah kontrakan ke rumah sendiri.
Kebetulan rumah yang kami beli adalah rumah lawas, milik pasutri usia paruh baya.
Rumah kami itu selain terletak di pinggiran kota juga berada di bagian paling ujung wilayah kampung. Satu lagi, rumah kami berdempetan tepat dengan makam umum yang sudah sangat tua. Itu terlihat dari deretan pohon kamboja yang mengakar tinggi dan merimbun.
Siang hari saja deretan pohon kamboja itu terlihat singup, apalagi di waktu malam. Jangan ditanya. Saya lebih memilih menutup tirai jendela lebih awal sebelum hari gelap demi menghindari mata melihat bayang-bayang pohon yang menyeramkan.
Suatu sore suami pamit pergi ke rumah salah seorang kerabat yang tinggal di pusat kota. Praktis saya ditinggal berdua saja dengan si kecil yang baru berusia beberapa minggu.
Sebenarnya sudah sering saya ditinggal suami bepergian seperti itu. Tapi entah mengapa sore itu perasaan saya sedikit kurang enak.
Lamat-lamat terdengar azan magrib dari kejauhan. Karena belum bisa menjalankan sholat saya membunuh waktu dengan memangku si kecil di dalam kamar. Pintu kamar sengaja saya biarkan terbuka dengan alasan kalau ditutup saya khawatir tidak mendengar motor suami saat ia pulang.
Petang kian merayap menuju malam. Si kecil dalam pelukan sudah lama tertidur pulas. Karena lengan terasa pegal, perlahan saya tidurkan ia di atas kasur. Saya sendiri mulai menguap berkali-kali. Bosan menunggu suami yang tidak kunjung pulang.
Saya pun merebahkan diri di samping si kecil dengan posisi miring. Entah berapa lama saya tertidur. Tahu-tahu saya terbangun ketika tengkuk saya merasa dingin seperti ditiup amgin.
Saat terjaga itulah mata saya melihat sesuatu. Sesuatu yang tidak jelas bentuknya. Semacam mahluk tanpa wajah---besar, berbulu lebat hitam setengah abu-abu berdiri di ambang pintu. Tinggi mahluk itu nyaris menyentuh kusen pintu.