Tanpa riset otomatis kita tidak mengetahui segala hal yang dibutuhkan untuk menulis sebuah cerita. Ibarat seorang prajurit kita tidak memiliki senjata untuk berlaga. Cuma berdiri bengong tidak tahu harus berbuat apa.
Menulis itu sebenatnya tidak sulit, Beib. Bagi mereka yang terbiasa mengadakan riset. Sesuai dalilnya semakin sering melakukan riset semakin banyak amunisi yang dimiliki seorang penulis. Entah itu berupa ide atau informasi yang hendak disampaikan.
Sebagai contoh. Aku akan menulis cerita roman yang tokohnya adalah seorang perempuan penyandang tuna netra. Perempuan itu jatuh cinta pada lelaki yang menabraknya dengan sepeda motor.Â
Sekarang, sekiranya aku tidak pernah bertemu atau berbincang sama sekali dengan seorang penyandang tuna netra, bagaimana caraku menuliskan adegan dan menggambarkan perilakunya? Apakah cukup dengan mereka-reka saja?
Selanjutnya. Aku ingin memperluas alur kisah dengan menghadirkan tokoh lain, seorang perempuan pengidap sakit jiwa, mantan kekasih lelaki yang dicintai perempuan tuna netra itu. Dan, sialnya aku tidak pernah---ups, maksudku aku belum pernah mengamati keseharian seseorang yang mengidap sakit jiwa, bagaimana caraku menuliskannya?
Lakukan riset!
Nah, kukira dari sini kamu mulai paham kan, Beib? Betapa pentingnya kehadiran riset pada tubuh sebuah karya fiksi.
Apa? Masih belum mudeng juga? Baiklah, aku kasih contoh ilustrasi lain, yaa.
Aku ingin menulis sebuah novel. Tokoh utamanya adalah seorang pelukis. Bagaimana aku bisa menggambarkan tokoh pelukis secara gamblang dan meyakinkan jika aku tidak melakukan riset terlebih dulu untuk mengetahui kehidupan atau keseharian seorang pelukis?
Mm, bagaimana, Beib? Kukira tatapanmu mengisyaratkan bahwa kamu mulai paham atas penjelasanku mengenai betapa pentingnya melakukan riset sebelum menulis fiksi. Itu bagus!
Lantas apakah riset hanya berkaitan dengan rincian data, informasi tokoh, latar, atau suatu peristiwa saja? Tentu saja tidak. Riset menyangkut juga hal-hal trivial, yang kelihatannya sepele.