Contoh kasus berikutnya. Sekitar satu bulan lalu, datang sepasang suami istri usia paruh baya ke tempat praktik dokter. Saat saya tanyakan siapa yang hendak berobat, si istri menunjuk ke arah suaminya.
Seperti biasa sebelum memeriksa secara teliti dokter menginterogasi apa yang dikeluhkan oleh si pasien. Si pasien mengaku tubuhnya demam hampir satu minggu, disertai keringat dingin dan sesak napas.
Tersebab ciri-cirinya merujuk pada gejala Covid-19, dokter segera memberi surat pengantar untuk foto thorax ke laboratorium terdekat.
Bagaimana tanggapan istri pasien?
Mbalelo. Si ibu menolak mengantar suaminya cek ke laboratorium. Ia bersikeras bahwa suaminya hanya terserang demam biasa.
"Minta resep dari Dokter saja. Dulu suami pernah sakit demam seperti ini langsung sembuh setelah diobati oleh Dokter." Si istri tetap ngeyel.
"Tidak bisa! Suamimu harus diperiksakan ke laboratorium. Ini musim covid. Jangan sampai terlambat penanganannya." Dokter menegaskan.
Selanjutnya, entahlah. Apakah si pasien dan keluarganya melaksanakan imbauan dokter atau tidak. Yang jelas saat saya hubungi via nomor telpon yang ditinggalkan, tidak ada yang mengangkat.
Kasus teranyar, suatu siang, kembali sepasang suami istri meminta bertemu dokter. Kali ini si istri yang mengeluh batuk tidak sembuh-sembuh.
Setelah bertanya ini itu dan memeriksa kondisi si pasien secara teliti, dokter gegas memberi surat rujukan ke RS terdekat.
"Saya kenapa Dokter?" Pasien bertanya dengan wajah pucat.