Dengan demikian, Horace telah meletakkan pandangan klasik bahwa menulis puisi merupakan suatu upaya profetik untuk menghadirkan kembali musik alam atau musik Ilahi melalui bahasa.
Pola-pola metrum yang dirumuskan oleh Horace sangatlah ketat, semacam hukum bahasa puisi yang nyaris tak bisa dilanggar apabila sebuah puisi ingin dimaksudkan sebagai sebuah karya sastra.Â
Itulah mengapa tidak sembarang orang pada masa Horace bisa disebut penyair.
Memasuki awal abad ke-20, muncullah gerakan puisi simbolisme di Prancis serta gerakan objektivisme dan imajisme di Amerika Serikat yang menggugat perbedaan ketat antara bahasa puisi dengan bahasa prosa.
Adalah Ezra Pound, penyair imajisme dari Amerika Serikat yang berani menyatakan bahwa sesungguhnya metrum natural itu sama sekali tidak ada. Semua metrum itu buatan manusia dan disepakati oleh manusia.
Bersama rekan-rekan penyair Amerika Serikat seangkatannya, Ezra memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai metrum bebas. Dengan munculnya metrum bebas ini bahasa puisi pun menjadi lebih cair dan lebih prosais.
Meski demikian bukan berarti para penyair modern sama sekali mengabaikan irama atau aspek prosodi lainnya.Â
Irama masih tetap menjadi hal yang vital dalam puisi modern, namun bukan lagi hal mendasar yang menjadi pembeda antara bahasa puisi dengan bahasa prosa.
Nah, gebrakan Ezra Pound tersebut diyakini sebagai cikal bakal kelahiran teknik Jukstaposisi yang kita kenal sekarang ini.
Bagaimana? Anda siap belajar menulis puisi atau prosa menggunakan teknik Jukstaposisi? Hayuk, buruan! Ambil pena dan liarkan imajinasi!
***
Malang, 03 September 2020
Lilik Fatimah Azzahra