Misalnya dalam teks drama karya William Shakespeare "Romeo dan Juliet". Kita bisa menemukan teknik Jukstaposisi di sana, di mana William sengaja menyandingkan cahaya dan kegelapan secara gamblang.
Mari kita simak salah satu dialog Romeo dan Juliet pada Babak I, Adegan V:
Oh, betapa wajahnya mengajari obor tetap menyala!
Nampak cerlang ia
pada pipi malam yang begini gelap
Seperti permata mewah di telinga orang Ethiopia
Pada dialog puitis tersebut wajah berseri Juliet disandingkan dengan kulit gelap orang Ethiopia. Penulis sengaja membandingkan antara terang dan gelap dengan mencontohkan hal yang nyata.
Ezra Loomis Pound Penggagas Teknik Jukstaposisi
Munculnya konsep Jukstaposisi dalam puisi-puisi imajisme sebenarnya untuk menjawab dua pertanyaan klasik; Apa yang membedakan bahasa sastra dan bahasa nonsastra? Serta, apa yang membedakan antara bahasa puisi dengan bahasa prosa?
Meski sebagian dari kita sudah mengantongi jawaban atas dua pertanyaan di atas, tidak ada salahnya kita mengulas ulang perihal perbedaan bahasa sastra dan nonsastra. Juga hal-hal terkait yang membedakan antara bahasa puisi dan prosa.
Kita mulai dari pendapat Horace, seorang panyair Yunani Kumo, bahwa pembeda substansial antara bahasa puisi dengan bahasa prosa terletak pada irama yang ada di dalam teks sebuah puisi.
Irama yang dimaksud meliputi banyak unsur, mulai dari rima hingga metrum. Namun Horace menegaskan, yang memegang peranan penting dalam konteks irama bahasa puisi adalah metrum.
Metrum sendiri adalah sebuah istilah dalam ilmu kesusastraan yang mendeskripsikan pola bahasa dalam sebuah baris puisi. Metrum juga bisa didefinisikan sebagai satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi.
Jadi kesimpulannya, setiap pola-pola metrum pada puisi selalu didasarkan pada metrum natural; metrum yang dianggap melekat pada keberadaan alam. Sekaligus mengandung unsur secara imanen, yakni keberadaan sang pencipta (Ilahi).