Pagi-pagi setiap memasuki ruang praktik, hal pertama yang ditanyakan dokter kepada saya adalah: "Kamu sudah cuci tangan?"
Yup. "Cuci tangan". Kegiatan sepele dan sederhana. Yang belakangan menjadi trend (baca: keharusan) bagi semua orang, semua kalangan, semua umur, dalam upaya menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Ibu-ibu di rumah tak lelah mengingatkan kepada anak-anak dan suami mereka. Cuci tangan! Perkantoran, instansi, dan tempat-tempat pelayanan umum pun, merasa wajib menyediakan tandon air dan sabun, atau hand sanitizer bagi karyawan atau para pengunjung yang berdatangan.
Tapi tahukan kita bahwa budaya "cuci tangan" pertama kali diimbaukan di Wina sekitar abad 19-an? Dan, kabar buruknya, imbauan tersebut ternyata dikecam!
Adalah Ignaz Philipp Semmelweis, seorang dokter ahli kandungan, yang mencetuskan budaya "cuci tangan" ini. Meski ia sendiri merasa sangat kecewa ketika apa yang dicetuskannya malah dianggap sebagai hal yang tidak masuk akal. Mereka---para dokter beserta orang-orang di sekitarnya menganggap Semmelweis telah merumuskan hal yang salah.
Apa sih yang menyebabkan Semmelweis getol mengusulkan agar seluruh dokter dan staf yang bekerja di Rumah Sakit Umum Wina itu menggalakkan budaya "cuci tangan"?
Rupanya Ignaz Semmelweis diam-diam telah mengamati perjalanan sebuah pandemi penyebab kematian pascapersalinan. Menurut hasil pengamatannya demam puerperal (infeksi rahim yang terjadi setelah melahirkan) disebabkan oleh bakteri yang penularannya  bisa jadi melalui perantara tangan dokter.
Pengamatan Ignaz memang cukup beralasan. Ia melihat angka kematian di Rumah Sakit tempat ia bekerja terus melonjak drastis, sekitar 20% dari jumlah pasien yang ditangani dokter. Sementara risiko kematian melahirkan yang dibantu oleh bidan, angka kematian hanya berkisar 1%.
Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Pengamatan Ignaz pun ditingkatkan menjadi pencermatan. Dan, ia menemukan banyak hal dari pencermatannya itu. Antara lain: petugas medis Rumah Sakit yang didominasi oleh kaum pria memiliki lingkungan dan peralatan yang kurang higienis. Semmelweis mencoba membandingkan dengan klinik tempat para bidan bekerja. Ia melihat lingkungan dan peralatan medis yang digunakan di sana jauh lebih terawat dan steril.
Dari sini Semmelweis mulai berpikir, kemungkinan demam puerperal menyebar dari tangan para tenaga medis itu sendiri akibat lalai menjaga kebersihan lingkungan dan peralatan mereka. Hal ini dikuatkan setelah ada kasus seorang dokter ahli bedah meninggal karena tergores pisau bedah yang digunakannya.Â
Semmelweis kemudian menyarankan kepada para dokter dan stafnya untuk membersihkan diri usai menangani pasien sebelum pindah ke pasien lainnya dengan menyikat kuku menggunakan klorin.
Semmelweis tahu, bahwa sabun biasa belum memadai dan ia menggunakan larutan klorin untuk disinfeksi.Â
Tapi, alih-alih usulannya diterima dengan baik. Semmelweis malah mendapat hujatan dan kecaman dari berbagai pihak. Semmelweis juga dituduh telah melakukan penghinaan berkenaan dengan rilis bukunya yang mengulas tentang pekerja medis yang enggan "mencuci tangan". Dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh dan para pembunuh sadis.
Pertentangan pendapat dimulai dari sini. Menurut para dokter, demam puerperal penyebabnya bukanlah seperti apa yang disampaikan oleh Semmelweis. Melainkan akibat miasma (hawa penyakit) yang bertebaran di udara Rumah Sakit.
Dampak dari keberaniannya menulis serta kegetolannya mengampanyekan gerakan "cuci tangan" ini, membawa Semmelweis ke dalam lingkar yang tidak menguntungkan. Pihak Rumah Sakit tidak lagi memperpanjang kontrak kerjanya. Dan Semmelweis akhirnya mati mengenaskan di sebuah Rumah Sakit Jiwa akibat dipukuli oleh penjaga.
Tentang doktrinnya yang mengangkat penyebab demam puerperal, baru diterima secara luas selang puluhan tahun kematiannya. Itu pun setelah melalui penelitian-penelitian yang panjang.
Salah satunya adalah hasil penelitian Louis Pasteur. Ia menemukan bakteri penyebab penyakit sekaligus memberikan penjelasan teoritis atas pemikiran Semmelweis, bahwa: "cuci tangan" bisa menjadi instrumen pencegahan efektif suatu penyakit.
Penelitian Louis juga berhasil membuktikan bahwa bakteri dapat dibunuh dengan tingkat panas tertentu. Dari sana muncul penelitian lanjutan tentang antiseptik.Â
Jika sekarang budaya "cuci tangan" sedemikian digalakkan oleh seluruh umat dunia, dan dianggap sangat jitu dalam upaya memberantas pandemi Covid-19, saya rasa Semmelweis boleh tersenyum lebar di alam sana. Doktrinnya yang dianggap keliru---pada akhirnya dibenarkan!
***
Malang, 16 July 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H