Menjadi seorang Ibu, gadisku, tidak ada sekolahnya. Alam-lah yang akan mendidikmu. Memberimu ilmu. Memberimu bekal. Agar engkau menjadi perempuan hebat, andal, pintar, lagi bertawakal.
Mari kita mulai dari sini, anak gadisku. Dari belajar kepada alam bernama pagi.Â
Pagi. Ia akan mengajarimu bagaimana semestinya membuka mata dengan penuh rasa syukur. Menyingkirkan mimpi-mimpi yang serakah dan takabur. Dari pagi pula engkau akan belajar mengasah keterampilan. Merajut helai-helai benang kesabaran. Untuk kelak kaubutuhkan jika masa menjadi Ibu itu telah diamanahkan.
Jika sudah. Bergurulah kepada hari bernama siang.Â
Siang. Ia akan memberitahumu. Bagaimana cara meredakan terik matahari yang menyengat itu. Menjadikannya buliran kalimat hujan yang menyejukkan. Sebagai persiapan. Andai kelak anak-anak yang kaulahirkan mengadu kepadamu, tentang; betapa hidup ini dipenuhi oleh beragam onak, debu, dan kesulitan.
Selanjutnya. Ambillah ilmu senja. Yang singgah dengan langit terbakar hanya sekelebatan saja. Semestinya. Begitu juga dengan hatimu. Kelak jika engkau dikuasai amarah. Segera, enyahkanlah! Tukar saja ia---amarahmu itu dengan senyuman paling indahmu.
Kemudian, ngudi kawruhlah kepada malam. Sebab ia adalah guru alam yang paling andal. Gelap dan gulitanya adalah misteri yang harus siap untuk dihadapi.
Dari malam pula, anakku. Egkau akan paham dan mengerti. Bahwa hakekat tertinggi suatu kehidupan kuncinya ada pada hati. Bukan pada emosi. Apalagi ambisi.
Sekali lagi, duhai, anak gadisku. Menjadi seorang Ibu itu tidak ada sekolahnya. Jadi, belajarlah kepada alam selagi masih ada umur dan engkau bisa.
***
Malang, 22 Juni 2020
Lilik Fatimah Azzahra