"Kamu Nilam, ya? Lazuardi memintaku untuk membawamu ke Rumah Sakit. Sekarang juga."
"Mengapa bukan Lazuardi yang menjemput saya? Kemana dia?" Dada saya mendadak bergemuruh. Orang yang mengajak saya bicara itu tidak menjawab. Â Ia hanya menggamit lengan saya lalu membimbing langkah saya menuju ke sebuah mobil.Â
***
Bau obat-obatan yang menyengat memberitahu bahwa saya sudah berada di Rumah Sakit.Â
Seorang suster---saya bisa mengenali dari suaranya, menuntun saya ke sebuah ruangan. Usai membantu saya bertukar pakaian, suster itu menidurkan saya di atas tempat tidur.
"Tim dokter sudah bersiap-siap mengoperasi kedua mata Nona," suster itu memberitahu. Saya mengangguk kecil.
"Maaf, bolehkah saya bertanya? Apakah Lazuardi berada di antara dokter-dokter yang akan membedah mata saya?" Saya memberanikan diri membuka suara.
"Tentu. Lelaki baik itu akan selalu ada bersamamu."
***
Beberapa jam kemudian.
Saya pernah berjanji, jika kedua mata saya bisa disembuhkan, orang yang pertama kali ingin saya lihat adalah Lazuardi. Maka, ketika perban yang menempel di kedua mata saya siap untuk dibuka, saya kembali menegaskannya.
"Saya mau Lazuardi yang melakukannya---membuka perban ini, bukan dokter yang lain."