Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi di Balik Hidangan Ketupat dan Opor Lebaran

26 Mei 2020   06:47 Diperbarui: 26 Mei 2020   06:56 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Anak gadis harus bisa bikin selongsong ketupat. Kalau tidak..."

Waduh!

Nah, ada yang pernah mendapat teguran seperti itu tidak semasa masih muda? 

Saya pernah. Kala itu, masih dalam suasana hari lebaran, para sesepuh terlihat sibuk merangkai janur di depan rumah untuk membuat selongsongan ketupat. Saya yang kebetulan sedang duduk-duduk memperhatikan, tiba-tiba diminta untuk membantu.

"Nganu, maaf, saya tidak bisa bikin ketupat."

Dan, tentu saja kejujuran saya itu menuai banyak teguran. Yang ujung-ujungnya membuat saya terpaksa harus belajar merangkai janur untuk membuat selongsongan ketupat. Sebab kalau tidak...

Di awal-awal merangkai janur saya merasa sangat kesulitan. Terutama ketika harus bisa mempertemukan ujung dan pangkal kedua helai janur yang melilit di kedua punggung tangan saya pada satu titik akhir. 

Berkali saya mengalami kegagalan. Kalau tidak macet di tengah jalan, selongsong ketupat bentuknya ruwet mencong sana sini tidak karuan.

Tapi saya tidak mau menyerah begitu saja. Sampai akhirnya, alhamdulillah, saya pun berhasil merangkai dua helai janur membentuk ketupat dengan sempurna!

Filosofi Ketupat

Di Indonesia---khususnya masyarakat Jawa, ketupat ternyata bukan sekadar hidangan pelengkap lebaran biasa. Ketupat memiliki makna khusus. Yakni sebagai simbol mengaku lepat dan laku papat.

Mengaku lepat dalam Bahasa Jawa berarti mengakui segala kesalahan. Ingat betapa njlimet dan sulitnya merangkai selongsong ketupat. Seperti itulah penggambaran kehidupan dan kesalahan manusia. Maka begitu selongsong ketupat sudah jadi bisa dilihat keindahannya.

Pengakuan lepat atau rasa bersalah ini biasanya diwujudkan dalam bentuk tradisi sungkeman.

Sumber: bernas.id
Sumber: bernas.id
Budaya sungkeman yang hingga kini masih terus dipertahankan ini ternyata juga mengandung nilai-nilai budi pekerti yang tinggi. Utamanya berkenaan dengan adab dan tata cara menghormati orang tua, merendahkan hati, dan  ikhlas dalam memohon pengampunan.

Sedangkan laku papat berarti empat perilaku atau tindakan yang wajib dijalani di saat merayakan hari Raya Idul Fitri.

Apa sajakah empat tindakan itu?

1. Lebaran.

Lebaran dalam Bahasa Jawa berari usai atau sudah selesai. Usai di sini berkenaan dengan berakhirnya waktu ibadah puasa. Lebaran bisa juga dimaknai bahwa pintu ampunan telah terbuka lebar di hadapan kita.

2. Luberan.

Nah, kalau yang ini memiliki arti meluber atau melimpah ruah. Apanya yang melimpah ruah? Bersedekahnya!

Luberan bisa jadi sebagai pengingat bagi umat Muslim yang hendak merayakan Idul Fitri, sudah saatnya membantu sesama dengan membayar zakat.

3. Leburan. 

Lebur artinya hancur atau musnah. Pada momen Idul Fitri, diharapkan segala dosa dan kesalahan akan melebur dengan saling memaafkan satu sama lain.

4. Laburan.

Laburan bermakna melabur atau mengapur. Diibaratkan, kita sedang melabur tembok yang bernoda dengan warna putih bersih. Yang berarti di hari Raya Idul Fitri hendaknya kita saling melabur diri dengan menjernihkan atau mensucikan hati.

Filosofi Opor

Ada ketupat ada opor. Iya. Mereka memang merupakan  pasangan serasi yang tidak terpisahkan.

Tahukah Anda bahwa opor pun mengandung filosofi khusus dalam menyambut datangnya momen lebaran?

Yup. Opor---bisa opor ayam atau daging, adalah masakan berkuah santan. Santan yang dalam Bahasa Jawa disebut santen, memiliki ungkapan filosofi  agunging pangapunten (besarnya permohonan maaf).

Sumber: ibtimes.id
Sumber: ibtimes.id
Jadi jika dipersandingkan antara ketupat dan opor dalam satu meja, lengkaplah sudah makna falsafah Jawa dalam memaknai hari Raya Idul Fitri.

Kupat Santen nggih dulur sedanten. Menawi lepat kula nyuwun agunging pangapunten.


***
Malang, 26 Mei 2020
Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun