"Hilal telah tampak!"Â
Seruan itu membuat Rahajeng menoleh sejenak. Melalui jendela kamar yang dibiarkan terbuka ia melempar pandang ke arah luar.
Dilihatnya matahari baru saja menjatuhkan diri di pelukan kaki langit. Meninggalkan jejak semburat merah yang perlahan mulai memudar.
"Kemarilah, Bu! Dari sini garis hilalnya terlihat sangat jelas!"
Bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu kembali berseru. Kakinya yang mungil berdiri tegak di atas setumpukan kayu yang berada tepat di bawah jendela kamar.
Rahajeng mendorong daun jendela lebih lebar lagi. Sekarang separo badannya sudah berada di luar.
Seraya menyentuhkan tangan di atas kepala bocah bertubuh kurus itu, ia berkata, "Hilal itu untukmu, Bi."
'Untukku?"
"Iya. Untukmu. Dan juga untuk anak-anak lain di seluruh dunia yang telah berhasil menjalankan ibadah puasa mereka dengan sempurna, selama satu bulan penuh."
Tak ada sahutan. Bocah itu masih asyik memandangi langit. Sesekali kepalanya bergerak ke samping kanan atau kiri dengan mata sedikit terpicing.
Lamat-lamat terdengar seruan azan berkumandang, memanggil untuk bersegera menjalankan ibadah sholat Magrib.Â