Jika kelak kau kembali tapi aku sudah tidak berada di rumah itu lagi, ambil saja anak kunci yang kuselipkan di bawah pot bunga di samping rumah, tepat di bawah teritisan.
Tapi, jika ternyata anak kunci itu tak kautemukan (mungkin tersapu hujan deras selama bermalam-malam), congkel saja daun jendela. Lompati bingkainya. Lalu istirahatlah di atas ranjang tua yang dulu pernah kita tiduri.
Atau, jika kau enggan memejam mata karena takut dikejar mimpi buruk, pergi saja ke ruang dapur. Jerang sedikit air di dalam panci. Seduhlah secangkir kopi, tanpa gula.
Sementara menunggu kopimu mendingin, duduklah di depan pendiangan. Nyalakan api unggun sembari mendengarkan alun lembut musik saksofon dari piringan hitam yang tempatnya belum kupindahkan. Masih tetap di situ. Di atas bufet kayu jati yang pernisnya sudah mulai mengusam.
Dan, ketika jarum jam menunjukkan tepat pukul dua belas tengah malam, bukalah daun jendela. Pandanglah langit yang sedang cerah. Lambaikan tangan ke arah bulan merah jambu.
Jikalau kau beruntung, akan kautemukan aku sedang duduk di sana, di atas punggung bulan merah jambu itu, sedang merajut baju hangat untuk kaukenakan, kelak, jika kau datang menjemputku.
Tapi sebelum itu, siapkan dulu anak tangga. Dari sekarang.
Dan, jika kelak kau kembali tapi aku sudah tidak berada di rumah itu lagi, mungkin aku baru saja usai merajut baju hangat untukmu lalu tertidur di pelukan bulan. Kelelahan. Menunggumu.
***
Malang, 18 Mei 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H