"Ma, maaf ya, lebaran kali ini aku nggak bisa pulang. Ada sanksi berat kalau imbauan pemerintah tentang larangan mudik dan pulang kampung itu sampai dilanggar."
Begitu anak laki-laki saya yang bekerja di Jakarta menelpon. Ada rasa sedih, sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi? Dalam kondisi sekarang, semua harus patuh dan memahami bahwa "tidak pulang kampung dan tidak mudik" adalah salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona yang belum juga kunjung mereda.
Seperti disampaikan oleh pihak Kementerian Kesehatan RI, data update terakhir menyatakan bahwa lebih dari 8 ribu masyarakat Indonesia terpapar oleh virus berbahaya ini. Itu berarti perkembangan virus masih terus meningkat dan perlu diwaspadai.
Jika ditanya harapan terbesar saya di bulan suci Ramadan kali ini, saya tak segan menjawab, "Semoga wabah Corona segera berlalu dan dunia kembali sehat wal afiat!"
Saya kira bukan hanya saya seorang yang memiliki harapan demikian. Hampir semua orang. Kami sudah sangat rindu ingin menjalani kehidupan secara normal. Tidak terkurung dan terkungkung di dalam rumah. Entah sampai kapan.
Sungguh, Ramadan kali ini benar-benar terasa berbeda. Tidak terlihat lagi serombongan muslim dan muslimah berbondong-bondong menunaikan Ibadah sholat terawih berjamaah di masjid-masjid dan surau-surau.Â
Tidak pula terdengar canda ria sekelompok anak muda berkeliling membangunkan ibu-ibu menyiapkan santap sahur. Dan bisa jadi sebulan mendatang saat hari kemenangan itu tiba, kita tidak bisa menjalankan sholat Idul fitri bersama-sama.
Bukan hanya masalah ibadah, terhitung sejak diberlakukannya imbauan social distancing, self quarantine dan PSBB, praktis segala aktifitas yang berhubungan dengan kontak fisik antar manusia benar-benar harus dihindari.Â
Memang. Keganasan virus Corona tidak bisa ditolelir lagi. Ia membuat kita terpaksa menjaga jarak dengan keluarga, sanak kerabat, teman sejawat, juga kerumunan orang-orang.Â
Guru tidak diperkenan bersitatap muka dengan siswa-siswinya. Atasan tidak diperbolehkan mengadakan meeting dengan anak buahnya secara langsung, dan anak-anak tidak bisa lagi leluasa beranjangsana menjenguk orangtuanya.
Untuk aktifitas terakhir---menjenguk orangtua, bersyukur keluarga saya termasuk kategori patuh. Meski pada awalnya terasa berat untuk dijalani.Â
Terutama bagi Ibu saya yang sudah berusia lanjut. Beliau sempat mengeluh dan mempertanyakan mengapa anak cucunya belakangan terkesan menjauh, tidak lagi rutin berkunjung ke rumah.Â
Kami sampai harus berulangkali memberi penjelasan lewat telpon tentang kondisi terkini yang menyebabkan mengapa kami harus melakukan social distancing.Â
Alhamdulillah, akhirnya Ibu bisa mengerti dan memahami seberapa pentingnya menjaga jarak agar terhindar dari bahaya virus Corona ini.
Ini sudah memasuki bulan kesekian. Belum ada tanda-tanda kapan wabah akan berakhir. Untuk sementara yang bisa kita lakukan adalah berdoa dan berupaya sebisa mungkin mengantisipasi penularan dan penyebarannya agar tidak semakin meluas.Â
Namun demikian bukan berarti badai tak akan pernah berlalu. Kita harus tetap optimis. Tetap bersemangat. Tetap berbaik sangka. Pasti akan ada masa di mana semuanya kembali membaik seperti sediakala.Â
Semoga kehadiran bulan Ramadan penuh rahmat ini akan membuka seluas-luasnya pintu berkah. Semoga Allah menyegerakan pertolonganNya. Menyingkirkan musibah mendunia ini sejauh mungkin, dan tidak akan pernah mengembalikannya lagi.Â
Amiin allahuma amiin.
***
Malang, 27 April 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H