"Ibu, aku lapar!"
Seorang bocah berseru gusar. Sembari menenangkan cacing-cacing di dalam perutnya yang riuh menggelepar.Â
Sang Ibu tersenyum manis. Berusaha menyembunyikan kabut dan gerimis. Dari bola matanya yang tak lagi memiliki daya magis.
"Ibu, aku ingin makan," suara si bocah terdengar kian miris. Sang Ibu mengangguk perlahan. Diusapnya lembut tubuh mungil anak kesayangan.
"Ting-ting gentinting, anakku.
Ibu akan menanak nasi paling nikmat untukmu. Tapi Ibu harus menyemai benih padi dulu. Maukah engkau sabar menunggu?"
Si bocah lalu merebah. Di atas dipan bambu yang satu kakinya nyaris patah.
"Ibu, sudah tumbuhkah benih padi yang Ibu semai?" Si bocah bertanya lugu. Sang Ibu mengangguk pilu.
"Ting-ting gentinting., anakku. Padi baru tumbuh setinggi mata kaki. Maukah engkau tidur kembali?"
"Ibu, aku lapar..."Â
Si bocah terjaga dari tidurnya yang samar. Sang Ibu terperangah sadar. Ditengoknya rebusan air berisi sebutir batu. Dikutuknya dirinya sendiri yang begitu piawai menjadi seorang penipu.
***
Malang, 17 April 2029
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H