"Mandikan aku!" serunya dengan suara bergetar. Hatiku mendadak runtuh. Jatuh berkeping-keping merupa serpihan.
Aku tak sempat mencegahnya lagi ketika kain panjang yang melilit tubuhnya perlahan ia lepaskan. Dan secepat itu pula sosoknya yang ramping sudah berdiri. Menghadapku. Polos tanpa busana.
Kusentuh pundak halus itu dengan satu tangan. Sementara tangan yang lain meraih gayung. Lalu perlahan air kembang setaman tujuh rupa kuguyurkan ke sekujur tubuhnya yang menggigil. Kuawali dari puncak kepala hingga ujung jemari kakinya yang mungil.
Airmata berjatuhan dari sudut matanya yang terpejam, bercampur dengan air yang bergelantungan di atas helai rambutnya yang basah.
Ingin sekali aku menghapus airmata itu. Tapi, tidak kulakukan.
"Kau melamun lagi, Kangmas Arjuna?" suara lembut itu membuyarkan kenangan terakhirku bersama perempuan itu.
"Maafkan aku," aku tergagap. Lalu perlahan kualihkan pandang. Menatap wajah tirus di hadapanku.
"Aku tahu kau masih mencintainya, Kangmas. Masih."
"Aku sudah melupakannya, Badra," aku berkilah.
"Tidak. Kau belum sepenuhnya melupakannya. Matamu masih menyimpan wajah cantik itu. Wajah Dewi Banowati."
***
Aku memang tidak bisa membohongi hati nuraniku sendiri. Bahwa rasa itu masih tersisa. Masih ada. Rasa cinta terhadap Dewi Banowati yang kini sudah resmi dinikahi oleh pembarep Kurawa, sepupuku, Kakang Duryudana.