Seorang perempuan duduk meringkuk di sudut beranda senja. Dalam dekapnya tertangkup buku yang sebagian besar huruf-hurufnya mulai luntur dimakan usia.
Dalam diam, ia biarkan matahari mengintip dan membaca beragam kisah. Tentang cinta yang pernah ia tera di bawah pecahan rembulan setengah purnama.
Kisah pada halaman pertama
Ketika usiaku masih sangat belia, aku adalah perempuan pejalan cinta. Kutitipkan hatiku di sembarang tempat. Di gurun, laut, darat maupun selat. Juga pada dinding tugu di perbatasan kota mati, yang sekian lama terkunci dan dibiarkan tiada berpenghuni.
Kisah pada halaman kedua
Ketika umurku melaju pesat ke angka kesekian. Menjadi pejalan langkah ini mulai terasa enggan nian. Kepada seseorang hati memilih untuk ditambatkan. Meski pada akhirnya airmata menjadi satu-satunya tempat paling nyaman. Untuk luka diam bersemayam.
Kisah pada halaman ketiga
Ketika awan-awan mulai berebut berjatuhan di atas ubun-ubun kepala. Dan biru langit mengabur di sepanjang garis retina mata. Cinta. Ia hidup kembali dengan senyum paling rahasia. Mengobati luka. Mengubah airmata menjadi embun yang mengecup pepucuk daun, dengan mesra dan sebegitu anggun.
----
Senja ini, seorang perempuan tak lagi menanam airmata di pekarangan hati. Ia lebih peduli pada matahari yang diam-diam membawa pergi. Batang usia dan sebagian kisah yang tertulis di lembar halaman buku tak bernama.
***
Malang, 25 Maret 2020
Lilik Fatimah Azzahra