Hari Rabu kemarin adalah hari paling mendebarkan dalam sejarah hidup saya. Bermula dari berita yang diunggah beberapa media berkenaan dengan hasil tes Mahasiswa UB terindikasi Covid-19, yang hasilnya dinyatakan positif.
Menyoal berita tersebut, saya berusaha bersikap setenang mungkin. Tapi tidak demikian dengan anak-anak saya. Mereka langsung menghubungi saya dengan panik.
Bahkan si sulung sampai menangis karena mengkhawatirkan kesehatan saya. Mengingat saya memang pernah menjadi salah satu perawat yang membantu dokter memeriksa pasien terindikasi tersebut.
Kendati saya sudah berusaha menenangkan anak-anak dengan mengatakan kondisi saya baik-baik saja, sehat walafiat, toh anak-anak tetap saja panik.
"Belum tentu! Mama bisa saja malah jadi carrier! Virus itu bisa menempel di tubuh Mama, di mana-mana. Di pakaian atau alat-alat yang sudah Mama sentuh. Mama harus segera periksa! Cek kesehatan! Semua harus disterilkan!"
Dan masih banyak lagi lontaran kekhawatiran yang saya terima sepanjang hari Rabu itu.
Bohong besar jika saya tidak terpengaruh oleh semua kepanikan yang saya dengar. Mau tidak mau kekhawatiran mulai menghinggapi hati saya. Sepulang dari klinik pun, saya berkali-kali berbicara dan menelpon dokter.
"Dokter, bagaimana ini? Anak-anak meminta saya memeriksakan diri. Mereka khawatir sekali dengan kesehatan saya."
"Kamu kan sudah aku periksa tadi. Kondisimu sehat. Kamu ndak apa-apa. Ndak batuk, pilek, demam atau sesak napas."
"Iya, Dokter. Tapi kalau status saya berubah sebagai carrier, bagaimana?" saya menegaskan.
"Sudah menjadi risiko profesi, Lik. Tapi harus diingat, Corona adalah virus yang memiliki masa inkubasi. Ayo, sekarang kita hitung lagi kapan tanggal memeriksa si pasien yang terindikasi itu?"