Ini sudah bibir ketiga belas yang kaulumat, Lul. Dan itu adalah bibirku. Apa kamu masih bisa merasakan kekenyalannya?
Kukira tidak. Aku bisa melihat itu. Wajahmu mendadak pias ketika bibirmu bersentuhan dengan bibirku pada detik kesekian.
"Pahit!" serumu sembari melepas peluk yang semula erat. Aku tertawa.
"Kau cepat sekali menyerah, Lul! Nikmati dulu sepuasnya!"
"Kau gila, Nis! Apa yang sudah kau lakukan? Bibirku terasa kebas dan menebal. Mati rasa! Arrrgggh..."
Itu erangan terakhir yang kudengar dari mulutmu, Lul. Selanjutnya aku hanya mampu melihat tubuhmu yang bertelanjang dada terkapar di lantai, membiru. Dan kedua matamu yang semula menatapku penuh gairah, nyaris terlompat ke luar.
***
Aku duduk di ruang sidang mengenakan rompi berwarna orange. Menghadap Majelis Hakim yang mencecarku dengan bertubi pertanyaan.
Aku sama sekali tak gentar, Lul. Divonis penjara berapa tahun pun aku tak akan takut. Yang kutakutkan hanya satu. Bagaimana jika tiba-tiba kau bangun dari kematian lalu membalas dendam atas apa yang telah aku perbuat padamu?
"Orang mati tidak bakal hidup lagi, Nis," sebuah suara mengagetkanku.
"Kau?!" aku mundur beberapa langkah. Mataku terbelalak. Tubuhku gemetar.
"Ada apa, Nis? Kau melihatku seolah melihat setan!"
Ya! Aku memang melihat setan. Dan setan itu adalah kau, Lul. Setan pengincar bibir perempuan. Sudah dua belas bibir yang kau nikmati. Sekarang kau datang menginginkan bibirku yang ranum ini sebagai korban yang ketiga belas.
"Nis, sayang. Kali ini aku berjanji tak akan menyentuh bibirmu. Cukup perlakuan keji itu kurasakan di dunia fana saja. Di dunia kegelapan ini, kau tak akan bisa membunuhku dengan mengolesi gincu beracun pada bibirmu," Alul tersenyum. Lalu mengumbar tawa penuh kemenangan.
Mendadak kakiku tersandung sesuatu. Batu nisan. Ada nama Niswari di situ. Dan itu adalah namaku.
***
Malang, 16 Maret 2020
Lilik Fatimah Azzahra