Ketika si sulung menikah dan sungkem di pangkuan saya, kalimat yang terucap dari bibir saya kala itu adalah, "Doakan Mama menjadi Ibu mertua yang baik yaa..."
Demikian juga ketika adik laki-lakinya menyusul selang 8 tahun kemudian, kalimat yang sama kembali saya ucapkan.
Mengapa saya minta didoakan seperti itu kepada anak-anak saat mereka mulai menjalani kehidupan baru? Jawabannya adalah: saya tidak ingin lalai. Sebab sudah banyak kasus perseteruan antara Ibu mertua dan anak menantu yang ujung-ujungnya sulit diakurkan. Seperti Tom and Jerry.
Sungguh. Saya tidak ingin hal itu menimpa diri saya. Saya ingin hubungan antar keluarga senantiasa terjalin dengan baik. Tidak ada rasa membeda-bedakan antara anak sendiri dan anak menantu.
Tentang ketidak-akuran antara Ibu mertua dan anak menantu, bukan lagi menjadi rahasia umum. Kisah kasihnya sudah menjadi semacam legenda.
Pernah suatu hari saat duduk mengobrol bersama ibu-ibu muda, iseng-iseng saya mengadakan angket dengan menanyakan, "Hubungan tidak harmonis antara Ibu mertua dengan anak menantu menurut kalian itu mitos atau fakta?"
Tanpa komando serempak mereka---ibu-ibu muda itu menjawab, "Faktaaaaa...!!!"
Bukan hanya itu, beberapa kali saya diwaduli ibu-ibu wali murid Bimbel mengenai hubungan sosial yang kurang baik dengan ibu mertua atau dengan anak menantu mereka.
"Apa yang saya lakukan tidak ada benarnya. Selalu saja salah di hadapan ibu mertua. Dan imbasnya, saya melampiaskan kekesalan saya pada suami."
"Sungguh, apes nian punya menantu. Ternyata ia tidak jowo terhadap mertuanya. Anak laki-laki saya jadi jarang berkunjung ke rumah. Lupa sama ibunya yang sudah merawat dan membesarkannya."
Curhatan semacam itu semakin menambah deretan panjang kasus yang selama ini sering menimpa khidupan rumah tangga pasangan muda.
Faktor-faktor Penyebab Sulit Mengakurkan Ibu Mertua dan Anak Menantu
Dua faktor di bawah ini disinyalir sebagai pemicu terjadinya ketegangan antara Ibu mertua dan anak menantu.
1. Perbedaan Standar PenilaianÂ
Menurut Madeleine A. Fugre, Ph.D., seorang Profesor Psikologi Sosial di Eastern Connecticut State University, ketegangan yang sering terjadi antara Ibu mertua dan anak menantu adalah dipicu adanya "perbedaan standar" dalam menilai karakteristik seseorang.
Sebagai contoh, seorang laki-laki dewasa mengaku menikahi perempuan pilihan hatinya berdasarkan penampilan fisik dan sense of humor yang dimilikinya. Sementara sang Ibu berpendapat lain. Dalam hal mencari calon menantu si ibu lebih melihat kepada segi bobot, bibit, dan bebetnya.
Bobot di sini berkenaan dengan kualitas si calon, bibit tentang asal usul atau garis keturunannya, sedang bebet berhubungan demgan status sosialnya.
Nah, dari standar penilaian yang berbeda inilah kelak bisa menimbulkan terjadinya ketegangan berantai.
2. Merasa Tersaingi
Yup!
Dalam hal ini si ibu mertua memiliki kekhawatiran yang berlebihan. Bahwa kehadiran anak menantu di dalam lingkaran kehidupannya menjadi semacam ancaman yang akan merebut perhatian anak laki-lakinya selama ini. Si ibu belum sepenuhnya rela, merasa dirinya lebih berkuasa sebab ialah yang merawat dan membesarkan si anak hingga menjadi orang sukses.
Sedang si menantu berpikir sebaliknya. Merasa dirinya-lah yang paling berhak mendapat perhatian dari suami. Sebab menurut dia seorang laki-laki yang sudah menikah berkewajiban penuh memberi perhatian terhadap istrinya.
Jika dibiarkan berlarut-larut, persaingan diam-diam ini bisa menjadi bola salju yang terus menggelinding.
Bagaimana jika ketegangan terlanjur terjadi? Apakah masih ada celah untuk mengakurkan keduanya?
Tentu! Celah itu selalu ada. Semua tergantung dari niat dan upaya masing-masing. Alangkah baiknya jika antara Ibu mertua, anak dan anak menantu sering-sering duduk satu meja. Saling mencairkan suasana. Syukur-syukur kalau yang lebih tua tidak gengsi untuk mengalah, bersikap lapang dada, tdak arogan dan bijaksana dalam bertindak.
Pengalaman menjadi Ibu mertua hampir 9 tahun,  menjadikan saya lebih berhati-hati, lebih mawas diri. Sebisa mungkin saya  menghindari konflik dengan anak menantu.
Dan alhamdulillah, sejauh ini belum pernah saya bersitegang dengan anak menantu. Sebab saya memegang teguh komitmen ini: saya menaruh rasa hormat dan kepercayaan setinggi-tingginya terhadap menantu laki-laki saya. Bahwa ia mampu menjaga, mendidik serta mengayomi anak perempuan saya yang sudah dinikahinya dengan baik.
Dan jangan harap anak perempuan saya---ketika timbul riak-riak kecil dalam rumah tangganya, datang ke rumah untuk wadul akan mendapat pembelaan dari saya. Yang terjadi malah sebaliknya. Saya akan menegur anak saya sendiri. Memberinya wejangan agar ia instropeksi diri.
"Mama mesti membela Papanya Nael," begitu anak perempuan saya memprotes tindakan saya. Tapi saya tahu dia tidak tersinggung, tetap mendengarkan dan mencerna semua nasihat saya.
"Dengar, Nduk. Mama lebih baik menegurimu daripada menegur suamimu. Mama tidak ingin menjadi orang ketiga yang bisa memperkeruh keadaan. Seperti awal-awal yang pernah Mama sampaikan, kalian berani menikah berarti sudah berani menghadapi segala risiko hidup berumah tangga. Salah satunya harus belajar berani menyelesaikan masalah sendiri tanpa melibatkan orang lain."
Demikianlah. Jika suatu hari ada yang bertanya kepada saya, "Menurut Mbak Lilik, ketidak-akuran antara Ibu mertua dan anak menantu itu mitos atau fakta?"
Tanpa ragu saya akan menjawab, "Mitoooos...!!!"
***
Malang, 10 Maret 2020
Lilik Fatimah Azzahra