"Hujan mengingatkanku pada banyak hal, Wid," ia berkata seraya melempar pandang ke luar jendela, menatap butiran air yang berebut jatuh.
Sembari memutar-mutar pinggang cangkir, ia mulai bercerita tentang banyak hal. Tentang masa kecilnya yang bahagia. Yang bebas berlarian di tanah lapang saat musim penghujan tiba.
"Tidak ada yang melarangku bermain air hujan, Wid. Bahkan Ibuku tertawa lebar ketika melihatku pulang dengan baju basah, kotor dan tubuh dekil," bibirnya yang manis menyungging senyum.
"Kau tidak terserang batuk atau pilek bermain hujan-hujanan seperti itu, Gie?" aku memicingkan sebelah mata, sedikit. Ia tertawa.
"Hujan tidak pernah membuatku sakit, Wid," Nugie menatapku dengan sinar mata bercahaya. "Hujan malah menjadikanku sehat dan bahagia."
Ya. hujan memang tidak pernah membuatmu sakit, Nugie. Tidak pernah! Tapi tidak di senja yang naas itu. Ia telah menciptakan rasa sakit yang teramat dalam.
Hujan telah merenggutmu dariku!
Kau terserempet mobil Avanza yang melaju dengan kecepatan tinggi saat membimbingku menyeberang jalan menuju area parkir yang terletak di depan pertokoan seberang jalan.
Dan semua terlambat  Nyawamu tidak tertolong. Hujan telah membawamu pergi. Selamanya.
Tubuhku menggigil. Aku menggeram.
"Sepertinya dosis obat pemenang harus ditambah lagi," dokter berkacamata yang berdiri tidak jauh dari ranjangku memberi perintah kepada seorang pria berseragam abu-abu. Kemudian aku melihat sebuah jarum suntik ditusukkan paksa ke salah satu lenganku.Â