Usai berburu jejak Ken Arok hingga ke Gunung Mujur, di hari yang lain saya menyempatkan diri berkunjung ke Museum Singhasari.
Memang apa yang bisa dilihat di museum yang terletak di kawasan Perumahan Singhasari Residence tersebut?
Baiklah. Dengan senang hati saya akan menceritakan.
Museum Singhasari adalah sebuah bangunan yang memang digadang-gadang bisa menjadi salah satu tujuan destinasi bagi wisatawan lokal maupun asing. Dengan mengangkat konsep Wisata Edukasi.Â
Jadi jangan heran jika di hari-hari tertentu museum ini diserbu oleh sekelompok siswa yang didampingi oleh guru-guru mereka dengan tujuan wisata sekaligus belajar sejarah secara langsung.
Museum Singhasari dibangun pada tahun 2015 di atas tanah seluas 3000 meter. Lokasi terletak di Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Museum ini berada di bawah naungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Malang.
Museum Singhasari bisa dibilang "lumbung" nya benda-benda bersejarah yang berhubungan dengan Kerajaan Singhasari.
Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Malang. Sekitar 7 km. Akses jalan cukup memadai. Bisa dilalui dengan beragam jenis kendaraan.
Siang itu, kedatangan saya disambut baik oleh Bapak Yose, selaku guide yang akan menemani saya berkeliling musem.
Sebelum beranjak mengikuti langkah Pak Yose, pandangan saya sempat tercuri oleh sosok sepuh yang asyik berkutat menggarap sesuatu berbentuk unik. Tak ingin kehilangan momen, gegas saya ambil gambar kegiatan tersebut.
"Bapak ini sedang membuat replika Lingga dan Yoni. Lingga itu batu yang menjulang, yang menggambarkan---maaf, alat vital laki-laki, dan Yoni adalah gambaran berharga milik seorang perempuan. Situs-situs semacam ini banyak ditemukan di sekitar wilayah Kota Malang. Biasanya di tepi bantaran sungai."
Saya menyimak dengan seksama apa-apa yang disampaikan oleh Pak Yose.
"Mengenai Lingga dan Yoni, situs ini bukanlah dimaksudkan untuk mengumbar alat seksualitas manusia semata. Melainkan lebih sebagai simbolis tentang awal muasal terciptanya kehidupan. Makna yang tertangkap sebenarnya adalah laki-laki sebagai lambang pekerja keras dan perempuan simbol dari kesuburan."
Kali ini saya mengangguk paham.
Perjalanan kemudian berlanjut memasuki ruangan museum yang tampak asri dan terawat.
Sembari mengamati batu-batu tersebut, dalam hati saya merasa kagum. Nenek moyang kita sungguh sangat luar biasa. Di zaman yang masih terbelakang mereka sudah mampu menciptakan karya-karya seni sedemikian rupa.Â
Terbukti dari adanya macam-macam benda terbuat dari batu-batuan seperti: lumpang untuk menumbuk padi atau rempah-rempah, tungku untuk memasak dan benda-benda unik lainnya yang dipahat sebegitu sempurna.
Menurut Pak Yose, secara tidak sengaja bongkahan batu bata tersebut terkeruk oleh mesin traktor jauh di dalam tanah. Disinyalir batu bata itu merupakan salah satu bagian dari situs peninggalan kerajaan Singhasari yang terpencar di sekitar Kota Malang.
Selanjutnya langkah kami bergeser sedikit ke arah samping. Di sini saya melihat pajangan beragam senjata pusaka. Ada keris, pedang dan tombak.
Sembari mengambil gambar, saya hidmat mendengarkan penjelasan Pak Yose mengenai keberadaan senjata-senjata pusaka tersebut.
Menurut pria yang masih aktif sebagai pegawai Pemkab Kota itu, keris-keris dan benda-benda pusaka lainnya bukankah milik museum sendiri. Sebagian benda merupakan barang pinjaman. Ada beberapa kolektor yang berbaik hati menitipkan benda pusaka bertuah milik mereka (entah dari mana mereka mendapatkannya) di Museum Singhasari ini.
Juga ada sebagian sumbangsih milik warga setempat.
Bicara soal patung-patung dan artefak, ada rasa sesak di dalam dada. Bukan rahasia umum bahwa situs-situs peninggalan kerajaan masa lalu---termasuk Kerajaan Singhasari, banyak yang berada di negeri kincir angin.
Selanjutnya, layaknya seorang pendongeng profesional, dengan lancar Pak Yose menuturkan kembali alur kisah diorama itu. Mulai dari Ken Arok saat baru tiba di Tumapel sebagai abdi dalem, hingga kisah terbunuhnya Tunggul Ametung oleh keris buatan Mpu Gandring yang amat melegenda itu.
Spontan Pak Yose menjawab, "Oh. Jangan sampai keris itu ditemukan! Sebab benda pusaka itu sangat berbahaya."
"Lalu kemana kira-kira keris itu menghilang?" saya masih diliputi rasa penasaran.
"Bisa jadi keris itu moksa kembali kepada si pembuatnya." Pak Yose redup menatap kedalaman mata saya.
Saya pun terdiam.
Jelajah Museum Singhasari siang itu bagaimanapun juga harus usai. Sebelum pamit pulang saya mengamati sejenak silsilah Kerajaan Singhasari yang tertempel pada dinding.Â
Lama saya berdiri di depan kertas berukuran kurang dari satu meter itu.
Jujur. Dalam hati saya tidak bisa menyembunyikan rasa kagum sekaligus bangga. Terutama saat mata ini sampai pada urutan Dinasti Majapahit.
Tanpa sadar bibir saya bergunam. Inilah potret negeriku. Nusantara di masa lalu. Ia pernah mengalami zaman kejayaan di bawah kepemimpinan raja-raja yang luar biasa!
Dan, ketika diminta mengisi buku tamu, tanpa ragu saya meninggalkan selarik pesan.Â
Museum Singhasari, tetaplah menjadi lumbung peninggalan bersejarah. Agar anak bangsa tidak kehilangan jejak para pendahulunya.
***
Malang, 28 Januari 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H