Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menapak Tilas Jejak Ken Arok di Gunung Mujur

15 Januari 2020   05:14 Diperbarui: 23 Januari 2020   21:24 2760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti janji saya, tidak lengkap rasanya jika hanya menyusuri jejak Ken Dedes. Sementara ada Ken Arok yang namanya tidak bisa dipisahkan dari nama Ken Dedes.

Dalam cerpen saya yang berjudul: Purnama Cinta di Langit Tumapel, saya sempat menceritakan kembali ambisius seorang pemuda bernama Arok yang ingin mengubah nasibnya. Pada akhirnya, karena kegigihan dan kepiawaiannya mengambil hati Ken Dedes, pemuda itu berhasil menguasai Tumapel. Bahkan ia merupakan pendiri dan menjadi Raja pertama di Kerajaan Singasari.

Awalnya---jujur, yang ingin saya cari adalah petilasan Ken Umang. Rasa penasaran terhadap sosok yang dianggap sebagai orang ketiga dalam kehidupan Ken Arok dan Ken Dedes ini sempat membuat saya tidak bisa tidur.

Di mana kira-kira makam atau petilasan perempuan itu?

Sayangnya hingga saat ini saya belum berhasil menemukannya.

Jika kemudian saya mendapat titik terang tentang keberadaan Gunung Mujur yang dipercaya sebagai tempat pertemuan rahasia antara Ken Arok dan Ken Umang, sungguh, cukuplah itu menjadi penghiburan bagi saya.

Perjalanan Seru Menuju Gunung Mujur
Untuk bisa mencapai lokasi Gunung Mujur, saya mengawali perjalanan dari UB Forest, hutan yang terletak di daerah Karang Ploso Malang. Bersama sahabat saya, Mbak Rini, kami berangkat pada suatu hari, Minggu sekitar pukul 8 pagi dengan mengendarai motor.

Sekadar informasi, UB Forest adalah hutan yang dikelola oleh Fakultas Perhutani Universitas Brawijaya Malang. Selayaknya sebuah hutan, pemandangan alam sekitarnya sangat indah dan asri. Sesekali kami berhenti untuk mengambil gambar.

a53b0d8a-06b9-4c06-bf2b-7654a31ca40a-5e1de5e3d541df0a284c16f2.jpg
a53b0d8a-06b9-4c06-bf2b-7654a31ca40a-5e1de5e3d541df0a284c16f2.jpg
Setelah UB Forest terlewati, sampailah kami di Desa Karangan, sebuah desa persinggahan terakhir sebelum mencapai Gunung Mujur.

Tersebab belum pernah berkunjung ke sana, jurus malu bertanya sesat di jalan kami terapkan. Dan alhasil, informasi yang kami dapatkan---tidak sesuai dengan kenyataan!

Dari keterangan Bapak Jayadi, seorang mandor Perhutani yang kami temui di perbatasan Desa Karangan, bahwa untuk sampai ke Gunung Mujur jarak tempuh hanya sekitar 1 km. 

Tangga menuju situs makam Gunung Mujur. Foto dokpri
Tangga menuju situs makam Gunung Mujur. Foto dokpri
Di perbatasan Desa Karangan bersama Bp. Jayadi. mandor Perhutani. Foto dokpri
Di perbatasan Desa Karangan bersama Bp. Jayadi. mandor Perhutani. Foto dokpri
Ah, satu kilometer. Itu sih dekat. Maka dengan amat percaya diri kami menitipkan motor di rumah penduduk setempat. Lalu sembari bersiul riang kami pun melenggang siap melintasi hutan.

Setelah berjalan lebih dari setengah jam, barulah kami menyadari, tidak terdapat tanda-tanda kami akan segera menemukan lokasi yang hendak dituju. Jalanan terlihat sangat sepi. Mamring. Sepertinya hanya kami berdua yang melintasi jalan panjang di lereng Gunung Arjuno sebelah timur tersebut. 

Untuk mengusir rasa was-was yang mulai menyelinap, sesekali kami bersenda gurau. Berpantun ria atau berpuisi. 

Satu jam sudah kami berjalan. Matahari kian meninggi. Keringat mulai bercucuran. Sementara nyamuk-nyamuk hutan satu persatu mulai datang mengerubuti kami. Sempat terlintas dalam pikiran untuk kembali turun ke desa alias balik kucing.

Untunglah setengah jam kemudian, di tikungan jalan kami berpapasan dengan sepasang suami istri yang mengendarai motor. Jurus bertanya kami gunakan lagi. Dan jawabannya, "Gunung Mujur? Wah, itu masih jauh, Mbak!"

Duh, kami pun berpandangan. Demi menghibur diri saya berseloroh kepada Mbak Rini, "Apa sebaiknya dirimu turun ambil motor, Te? Biar aku menunggu di sini."

Tapi tunggu! Kami ini Emak-emak pejuang tangguh. Pantang menyerah apapun yang terjadi.

Maka perjalanan harus tetap dilanjutkan. Dan, horeee...! Tak berapa lama kami melihat beberapa motor terparkir di sekitar area kebun kopi. Saya dan Mbak Rini berhenti sejenak. Melepas lelah. Duduk di atas sadel motor yang entah siapa dan kemana para pemiliknya.

Kebun kopi yang rimbun. Foto dokpri
Kebun kopi yang rimbun. Foto dokpri
Iseng-iseng kami berteriak memanggil-manggil pemilik motor. Tak ada sahutan. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Sekitar seratus meter, kami mendengar suara orang bercakap-cakap. Kiranya di atas kebun kopi sekelompok Bapak-bapak sedang memperhatikan kami. Dengan bersemangat kami bertanya lagi. Alhamdulillah, jawaban kali ini membuat kami lega. Lokasi Gunung Mujur sudah dekat.

"Pak, nanti pas turun ke desa,  kami minta tolong dibonceng nggiiih...!" saya berseru riang. Dan, Bapak-bapak itu menyanggupi.

Makam Keramat
Begitu melihat penampakan anak tangga yang mengular, mata kami langsung berbinar. Huft, akhirnya kami sampai juga. Ucapan selamat datang pun terbaca oleh kami.

Eits, tapi perjalanan ternyata belum usai. Kami masih harus menapaki 100 anak tangga untuk bisa sampai di puncak.

Duh, sebenarnya tempat apa sih ini? Masa iya, Ken Arok dan Ken Umang bertemu di tempat seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai mengusik benak saya.

Mbak Rini berjuang menapaki 100 anak tangga. Foto dokpri
Mbak Rini berjuang menapaki 100 anak tangga. Foto dokpri
Dengan napas ngos-ngosan dan diiringi ribuan nyamuk yang tak kunjung pergi, akhirnya 100 anak tangga berhasil kami lalui. Selanjutnya, kami melihat sebuah bangunan---semacam gubuk, berada di tempat ketinggian. Tersembunyi di antara pepohonan rindang dengan aura yang agak menyeramkan. 

Saya celingak-celinguk. Berharap ada orang yang menyambut kedatangan kami.

Syukurlah. Kami melihat seseorang muncul dari gubuk sederhana itu. Seorang Bapak, usia paruh baya, menjawab pelan salam kami. Lalu mempersilakan kami masuk.

Astaga! Ternyata di dalam gubuk itu terdapat sebuah makam dengan ukuran yang cukup panjang. Uniknya, posisi makam terlihat tidak lazim. Jika pada makam kebanyakan posisinya menghadap arah Utara dan Selatan. Tapi makam tersebut arahnya mujur. Ke arah Timur dan Barat.

Makam keramat. Foto dokpri
Makam keramat. Foto dokpri
Barangkali inilah awal mula tempat ini disebut sebagai Gunung Mujur.

Diiringi aroma dupa yang menguar, Pak Supriadi---atau biasa dipanggil Pak Pri, memperkenalkan dirinya sebagai juru kunci makam. Beliau mengaku sudah lebih dari 5 bulan tidak turun gunung karena diserahi menjaga makam keramat yang diyakini oleh penduduk setempat sebagai makam Seta Kumintir, seorang patih dari Kerajaan Blambangan.

Bp. Supriadi juru kunci makam. Fot dokpri
Bp. Supriadi juru kunci makam. Fot dokpri
Seta Kumintir? Tapi mengapa pada pintu gubuk tertera nama Ki Ageng Kertodjojo?

Plakat di pintu makam keramat. Foto dokpri
Plakat di pintu makam keramat. Foto dokpri
Kertodjoyo.

Ah, saya jadi teringat pada Sri Maharaja Kertajaya, raja terakhir Kediri yang berhasil dikalahkan dan dibunuh oleh Ken Arok. Apakah...jangan-jangan ini adalah makam beliau?

Entahlah.

Hanya saja di akhir perbincangan ketika juru kunci itu mengatakan, suatu malam ia pernah mendapat wangsit yang mengatakan bahwa makam yang dijaganya itu sebenarnya adalah makam Ken Arok, mendadak seluruh tubuh saya bergetar. Bulu tengkuk saya berdiri. Pyar-pyar.


***
Malang, 15 Januari 2020
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun