Aku baru saja menangisi rembulan. Yang semalam bersinar tanpa cahaya. Air mataku merupa gumpalan awan. Tertahan di udara. Menunggumu. Aku ingin kau yang pertama kali mencairkannya menjadi titik-titik hujan, berwarna biru.
Aku menangisi lautan. Yang tepiannya terkikis oleh gelombang pasang. Air mataku merupa bebatuan. Cadas. Menunggumu. Aku ingin kau yang pertama kali meluluhkannya, menjadi semburat pasir berwarna merah jingga.
Aku menangisi pepohonan. Yang meranggas dengan seringai paling beringas. Air mataku menjelma butiran peluh yang menyesap di pucuk daun-daun. Meninggalkanmu. Aku ingin kau gegas berlari mengejarnya.
Aku menangisi entah apa. Sesuatu tanpa cahaya. Tanpa aroma dan tanpa warna. Juga tak berwujud. Aku ingin kau yang pertama kali menjelaskannya. Padaku. Lalu menjatuhkan satu biji jemarimu di sudut mataku. Menyeka bulir bening itu perlahan. Sembari membisikkan, "Bersamaku, kau akan baik-baik saja. Tak ada satu pun yang mesti dikhawatirkan."
***
Malang, 17 Desember 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H