"Berapa ia mau membayar?" aku melirik Amira. Dadanya yang montok mencegat pandanganku sesaat. Membuatku teringat pergumulan panas kami tadi malam.
"Bapak tinggal menuliskan besar angka nominal pada cek ini," Amira menyodorkan satu lembar kertas lagi. Aku tersenyum.
Sungguh. Kunikmati hari-hariku yang selama ini hilang direnggut kemiskinan. Aku telah menjelma menjadi lelaki hebat. Seorang lelaki yang diserahi mandat duduk di kursi pemerintahan, mewakili suara rakyat, yang tanda tangannya bisa bebas diperjualbelikan.
Kau bajingan!
Suara itu membuatku menoleh ke arahmu. Aneh. Kali ini aku tidak merasakan getaran apa-apa lagi. Mungkinkah cinta yang pernah kutumpahkan dan kusumpahkan hanya untukmu itu telah hilang?
Kau penipu rakyat!Â
Seruanmu semakin menggila. Memekakkan kedua telingaku yang mulai terbiasa dengan puja-puji.Â
Kau tak ubahnya hantu bermuka rata!
Hantu bermuka rata? Hantu apa pula itu? Aku terbahak. Kuembuskan sisa-sisa asap cerutuku. Hidup ini harus dinikmati, sayang. Tidak hanya melulu bicara tentang cinta. Perut tidak akan kenyang hanya bermodalkan cinta.
Doooorrr...!!!
Satu tembakan tepat mengenai pelipis kiriku. Darah segar sempat kuseka sebelum tubuhku ambruk mencium lantai.