"Kapan terakhir kali aku menyakitimu, Riana?"
Pertanyaan itu sungguh membuatku ingin tertawa. Sejak kapan kau bisa menyakitiku, Zein? Tidak akan pernah! Kau itu terlalu lembut. Bahkan terhadap seekor nyamuk yang mengisap kenyang darahmu pun, kau tak akan tega menyakitinya.
"Apakah seseorang yang terlalu mencintai tidak mungkin menyakiti, Riana?"
Kembali kau mengusikku dengan tanya itu. Kau memang selalu begitu, Zein. Selalu ingin mengusikku dengan mengatakan hal-hal yang membuatku mendekatkan wajah. Lalu menyanggah dengan dinamika suara naik turun. "Apapun itu kau tidak akan pernah bisa menyakitiku! Karena kau terlalu mencintaiku..."
"Apakah jika suatu saat aku berhasil menyakitimu, kau akan membenciku, Riana?"
Hup!
Aku menangkap lemparan bola dari bocah kecil yang tengah berlari riang di atas rerumputan. Sore itu. Di sebuah taman. Ketika cuaca sedang cerah dan sedikit berangin.
"Ayo lempar balik bolanya ke sini!" suara nyaring itu tidak saja membuyarkan lamunanku. Tapi sekaligus mengingatku kembali kepadamu. Bukankah kau juga pernah melakukannya? Melemparkan bola tepat di hadapanku. Lalu memintaku dengan suara lantang agar melentingkan bola itu kembali ke arahmu.
"Sekuatnya, Ma!"
Kalau saja tidak ada embel-embel kata 'Ma' di belakang teriakan bocah laki-laki usia lima tahun itu, mungkin aku mengira kaulah yang berseru padaku itu, Zein. Sungguh. Telingaku tak bisa lagi membedakan antara suaramu atau suara bocah lucu menggemaskan itu.
Aku masih geming memegang erat bola di tanganku. Membiarkan bocah kecil itu lama berdiri menunggu.
"Apakah kau yakin aku benar-benar tidak bisa menyakitimu, Riana?"
Semilir angin menyentuh lembut ujung telingaku. Mengantarkan kembali kalimat tanya yang sama, yang pernah kau ucapkan beberapa tahun silam.
Bola di tanganku perlahan kubiarkan terjatuh. Menggelinding beberapa senti menjauhi ujung kakiku. Membuat bocah kecil yang berdiri termangu itu gegas berlari dan menggenggam erat jemari tangan kurusku.
"Kita pulang, Ma. Udara berangin di sini sangat tidak baik untuk kesehatan Mama."
Aku tergugu.Â
Kau sudah berhasil menyakitiku, Zein. Sangat berhasil!
Kau tahu kenapa?Â
Karena bocah kecil yang membimbingku berjalan menuju pulang itu, ia adalah anak tiriku. Hasil hubunganmu dengan asisten rumah tangga kita yang kupungut dari kampung. Yang menghembuskan nafas terakhir saat melahirkan bocah lucu menggemaskan itu.
Bersyukurlah ada bayi mungil itu, Riana. Ia bisa melengkapi hidupmu menjadi seorang ibu karena kamu--mandul.
Mendadak aku ingin menendang gundukan tanah merah di samping taman ini, Zein. Di mana belum genap empat puluh hari kau pergi menyusul perempuan yang telah merebut hatimu itu!
***
Malang, 03 desember 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H