Ya, benar. Mbah Karim di masa muda adalah seorang penari topeng yang cukup piawai. Ia bahkan pernah dinobatkan sebagai penari terbaik oleh pemerintah daerah setempat di mana ia tinggal.
Tapi itu dulu. Sebelum ia akhirnya terpaksa meninggalkan dunia panggung yang telah membesarkan namanya itu.
Turun panggung. Istilah yang membuat lelaki itu kembali teringat pada kejadian tiga belas tahun lalu saat ia mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarai bersama rombongan para penari, saat menuju perjalan pulang usai manggung, mendadak remnya blong.
Kecelakaan itu membuat salah satu kakinya patah tulang hingga harus dipasang pen. Sejak itulah ia tidak bisa lagi berdiri dengan sigeg--posisi kuda-kuda yang wajib dikuasai oleh seorang penari pria pada umumnya.
Meski tidak bisa lagi memamerkan kemahirannya di atas panggung, bukan berarti Mbah Karim benar-benar meninggalkan dunia seni. Ia tetap ingin berkreasi. Dan pilihannya jatuh pada seni membuat topeng yang dianggapnya masih berhubungan erat dengan dunia tari yang pernah ditekuninya.
Mbah Karim baru saja berniat mengunci pintu galeri ketika telinga tuanya mendengar suara langkah. Ia menoleh. Agak terkejut ketika dilihatnya seorang perempuan datang menghampirinya.
Perempuan itu bukan Masiyem.
"Apa kabar, Ka?" perempuan itu menegurnya dengan suara merdu.
Ka? Sudah lama telinganya tidak mendengar panggilan seperti itu. Dan hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
"Kau pangling padaku, Ka?" perempuan itu membuka suara lagi. Mbah Karim urung mengunci pintu.
"Jeng?" Mbah Karim mengernyitkan kening. Perempuan di hadapannya itu mengangguk.